Kebahagiaan Spiritual

Sumber Tulisan: Disini

KITA mengenal dimensi ataupun tangGa-tangga kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang bersifat fisikal, intelektual, estetikal. Dua kebahagiaan lain yang semakin tinggi adalah kebahagiaan moral dan spiritual.

Pada kebahagiaan moral, seseorang merasa bahagia dan bermakna hidupnya justru ketika dalam posisi memberi (bukan diberi) dan menolong (bukan ditolong) orang lain. Adapun kebahagiaan spiritual (spiritual happiness) bersifat ruhani atau  nurani.

Ruhani artinya bersifat ruh, nurani artinya bersifat nur atau cahaya. Ruh dan cahaya Ilahi yang bekerja dalam diri manusia sehingga hidupnya selalu terarahkan pada kebaikan sebagai efek dari kedekatannya dan kecintaannya pada Allah.

Seseorang akan meraih kebahagiaan tertinggi ketika jiwa robbani yang tertinggi berhasil mengemban tugasnya dengan baik mengendalikan nafsu, pikiran, dan tindakan seseorang untuk senantiasa merasakan kedekatan dan disayang Tuhan. Untuk bisa dekat dengan Tuhan yang suci,  seseorang haruslah berusaha menjaga kesucian dirinya.

Agar disayang Tuhan, seseorang hendaknya senang bebagi kasih sayang pada hamba-hamba Tuhan.  Jadi, kebahagiaan spiritual diraih melalui perjuangan ruhani untuk selalu menjaga fitrah keruhaniannya untuk memimpin jiwa insani, hewani, dan nabati sehingga melahirkan tindakan dan karya-karya kemanusiaan sebagai partisipasi dan realisasi asma Allah yang Rahman dan Rahim.

Kebahagiaan spiritual memiliki banyak pintu. Melalui kapasitas intelektualnya, seseorang bisa saja memperbanyak karya kemanusiaan sebagai rasa syukur pada Tuhan. Melalui kecerdasannya yang dimbimbing oleh jiwa robbani seseorang akan lebih mampu memahami dan menghayati kebesaran Tuhan sehingga ketika sujud akan lebih khusyuk.

Mengukur Kebahagiaan

Sumber Tulisan: Disini

Jika ekonom sering meneliti indeks prestasi ekonomi seseorang atau bangsa dengan pendekatan kuantitatif, kalangan psikolog akhir-akhir ini melengkapinya dengan melakukan penelitian tingkat kebahagiaan seseorang atau masyarakat.

Kalangan psikolog berangkat dari sebuah pertanyaan dan keraguan, benarkah tingkat kekayaan materi seseorang serta-merta mendatangkan kebahagiaan? Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang lebih bahagia? Beberapa eksperimentasi penelitian tentang kebahagiaan itu diceritakan oleh Richard Wiseman dalam 59 Seconds, Think a little, change a lot (2009) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Pustaka Alvabet 2014).

Suatu hari karyawan sebuah perusahaan memperoleh bonus uang. Selang beberapa bulan kemudian mereka itu disurvei, untuk mengukur seberapa besar dampak bonus uang tadi terhadap emosi rasa bahagianya. Secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok membelanjakan uangnya untuk membeli barang, kelompok yang lain untuk membeli pengalaman hidup, semisal rekreasi mengunjungi daerah wisata atau tempat lain yang baru.

Masing-masing dibagi pertanyaan untuk menjawab tingkat kesenangan dengan bonusnya tadi. Hasilnya? Ternyata mereka yang membeli pengalaman baru seperti berwisata kesan kebahagiaannya lebih tinggi dan lebih lama–bahkan masih tersimpan. Sementara yang membeli barang kebahagiaannya hanya berlangsung sebentar. Terlebih lagi ketika melihat barang sejenis, produk mutakhir, maka kebanggaannya kian menurun. Diceritakanlah orang yang membelanjakan uangnya untuk berwisata.

Ketika bertemu teman atau orang yang juga pernah berkunjung ke tempat yang sama, mereka bisa berbagi kesan dan pengalaman, meskipun kunjungannya itu sudah lama. Saya pun lalu teringat orangorang tua dari desa yang pernah pergi haji. Setiap ketemu teman atau tetangga yang baru pulang haji, kenangan indah itu seakan muncul kembali, lalu mereka terlibat obrolan yang asyik dan penuh antusias.

Biaya pergi haji sekitar Rp35 juta rupiah itu telah memberikan deposito kebahagiaan yang sekali-sekali mudah dibuka dan dirasakan kembali. Kalau saja uang sebesar itu dibelikan benda yang tidak produktif, sekadar memenuhi selera kepemilikan terhadap barang baru, pasti durasi kesenangannya amat pendek. Karena nilai sebuah barang akan terkena penyusutan, seperti mobil yang harga jualnya pasti turun setelah dipakai.

Apa yang diceritakan kembali oleh Richard Wiseman itu juga mengingatkan saya pada teman-teman yang pernah melakukan perjalanan wisata bareng, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa bulan lalu bersama sekitar 30 orang saya jalan-jalan ke Eropa, mengunjungi lima negara dengan kendaraan bus.

Setiap membuka kembali album foto-fotonya, atau ketemu teman seperjalanan, kenangan indah itu muncul kembali, serasa ingin mengulanginya lagi. Begitu pun ketika dua minggu lalu bersama teman-teman berkunjung ke Belitung dengan pantainya yang bersih dan indah, tempat syuting film Laskar Pelangi, kenangan itu masih terasa sampai sekarang. Jadi,jumlah uang yang sama, ketika dibelanjakan akan mendatangkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan batin yang berbeda.

Membeli pengalaman hidup yang baru itu rupanya lebih tinggi dan tahan lama tingkat kebahagiaannya ketimbang membeli barang yang bersifat sekunder atau konsumtif. Lebih lanjut Richard Wiseman meneliti, mengapa orang lebih senang membeli barang yang bermerek atau bergengsi ketimbang untuk membeli pengalaman? Lagi-lagi, beberapa temuannya cukup menarik diketahui, meskipun tidak selalu benar dan sesuai dengan budaya Indonesia.

Menurutnya, mereka yang memilih belanja barang ketika mendapatkan bonus, diduga kuat memiliki hubungan dengan masa kecilnya yang kurang bahagia dan kurang percaya diri sehingga memerlukan kompensasi berupa barang berharga untuk mendongkrak tingkat percaya dirinya. Temuan survei ini tentu saja bisa benar, bisa salah. Namun kita pun dengan mudah bisa melakukan pengamatan sendiri terhadap orang-orang di sekeliling kita.

Benarkah mereka yang senang membeli barang bermerek itu memiliki hubungan dengan defisit percaya diri di masa lalunya? Kalau saja asumsi teoretis ini digunakan untuk meneliti para pejabat tinggi negara dan kalangan anggota DPR di Senayan, mungkin teori ini patah, tidak valid. Saya rasa mereka itu bermental pejuang, jauh dari sikap materialistik.

Namun bisa juga justru semakin memperkuat kebenaran teori ini. Bahwa membeli mobil dan barang-barang mewah itu mencerminkan kualitas pribadinya yang terbentuk tidak dengan tiba-tiba. Pesan pokok dari cerita survei di atas ialah setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia, karena orang yang bahagia lebih kreatif dan tidak mengancam bagi lingkungannya.

Mereka lebih senang memberi, bukannya meminta dan menerima. Yang pasti, rakyat akan senang jika para pemimpinnya itu kaya harta dan kaya hati, sehingga lebih ikhlas mencintai dan melayani rakyatnya. Bukannya meminta, tetapi memberi. Bukanya menindas, tetapi menolong dan menyelamatkan.

Mohon Perhatian

Sumber Tulisan: Disini

DALAM berkomunikasi kita melibatkan telinga, mulut, pikiran, mata, dan tangan. Tetapi coba renungkan, mengapa yang diminta adalah ”hati”? Perhati-kan judul di atas: mohon per-hati-an!  Mengapa bukan ”mohon per-telinga-an? Atau cermati ungkapan berikut ini: Harap diper-hati-kan!
Kalau mengendarai mobil yang ”hati-hati”.

Kalau menyeberang jalan mesti ”hati-hati”. Dia ditangkap KPK dan sekarang masuk tahanan karena tidak ”hati-hati” ketika jadi pimpinan. Sungguh luar biasa dan mengagumkan siapa yang menciptakan dan menggunakan istilah ”hati” ini menjadi khazanah bahasa Indonesia dan dalam komunikasi keseharian.

Dalam bahasa Inggris dan Arab, terdapat beragam kata yang serumpun dengan kata ”hati”, yang semuanya berkaitan dengan sikap batin yang selalu ingin mendapatkan rasa damai, kasih, sadar, tulus, dan peduli serta cinta. Ketika kita bingung memutuskan suatu perkara, dianjurkan agar mendengarkan ”hati nurani” atau ”suara hati”.

Ketika hendak memilih pasangan hidup,orang tua selalu pesan, ”Sing ati-ati, milih konco urip kanggo sak lawase (yang hati-hati memilih teman hidup untuk selamanya).” Demikian vitalnya peran hati, sehingga Kanjeng Nabi Muhammad bersabda, siapa pun yang hatinya baik, baiklah semua perilakunya .

Siapa yang hatinya sakit, sakitlah semua amalnya. Jadi, betapa sentralnya peran ”hati” dalam kehidupan sehari-hari, karena dari situlah terpancar energi kebaikan dan keburukan, dorongan ke arah kemuliaan atau kenistaan. Karena suara hati selalu mengajak pada kebaikan, orang bijak mesti mendengarkan kata hatinya sebelum berbicara dan bertindak.

Hati nurani adalah guru, pembimbing, dan konsultan yang tidak mau berbohong. Terlebih jika hati ini selalu diterangi dan ditambah energi Ilahi, maka akan semakin kuat dan jelas petuahnya agar kita berada di jalan yang benar, yang baik, dan ingin menggembirakan sesama.

Salah satu fungsi ibadah dan puasa adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran agar tidak mengeras dan berkarat sehingga menutupi (to cover, kafara, kafir) masuknya cahaya Ilahi untuk menerangi relung hati. Kalau sudah tertutup (has been covered), maka suara hati nurani bisa kalah, suaranya lemah, perintahnya tidak wibawa.

Yang cenderung terjadi, seseorang lalu begitu rentan dipengaruhi dan dikendalikan oleh nafsu rendahan yang hanya mengejar kenikmatan fisik (physical pleasure) dengan mengorbankan kebahagiaan moral-spiritual (moral spiritual happiness). Kenikmatan fisik durasinya pendek, dan semakin tua usia seseorang, semakin kecil kenikmatan fisik yang bisa diraih.

Ketika kesehatan kian menurun, berbagai macam penyakit berdatangan, satu per satu kenikmatan fisik menyatakan ”selamat jalan”. Dulu ketika masih berstatus mahasiswa, ingin makan enak tidak punya uang; setelah tua, punya jabatan tinggi dan uang berlebih, tidak boleh makan enak. Sungguh, kalau saja direnungkan, betapa singkatnya kenikmatan dunia melayani dan memanjakan kita.

Tetapi mereka yang hatinya selalu berjaga, selalu aktif,dan senantiasa disirami dengan energi cahaya Ilahi, semakin tua usia seseorang, hatinya justru semakin sehat, semakin lapang,dan semakin bijak sehingga kebahagiaan yang akan diraih justru lebih tinggi kualitasnya, yaitu kebahagiaan moral-spiritual.

Jika kebahagiaan fisik (physical happiness) didapat dengan mengumpulkan dan menumpuk materi, kebahagiaan moral-spiritual didapat justru dengan banyak memberi dan berbagi kepada sesama.

The more You give, the more You recieve.

Tak ada dermawan jatuh miskin, justru rezekinya semakin berkah dan bertambah.

Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang tengah menabung dengan bunga berlipat ganda sebagaimana dijanjikan Tuhan. Jadi, menjalani hidup mesti ”hati-hati”.

Mesti didengarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran harus juga digunakan, namun mesti didampingi dengan hati. Tanpa didampingi hati nurani, kecerdasan yang berdampingan dengan nafsu serakah bisa berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih. Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan. Misalnya bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu keterampilan tangan.

Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar. Tetapi jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab. Mobil diciptakan bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tetapi mempermudah silaturahmi, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak-anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini semakin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia maupun Tuhan.

Sadar bahwa yang dimohon adalah per-hati-an, maka mestinya yang diberikan adalah hati.

Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati– ingat kata ”hati” sampai diulang dua kali—maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati. Lagi-lagi, betapa dalam dan bijaknya orangtua yang menyelipkan kata ”hati” dalam bahasa Indonesia.

Saya belum tahu apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu? Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa. Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus dalam berdoa.

Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tetapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tidak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrem itu bukanlah sembahyang, melainkan olahraga menyerupai gerak sembahyang.

Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan masih terasa segar dan menyegarkan ketika dibaca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika dibaca? Konon katanya, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan, dan kecerdasan hati.

Dari lubuk hati terdalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya. Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang ditulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Sebagai penutup, dengan rendah hati, saya mohon per-hati-an agar tulisan ini juga diper-hati-kan.*

Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 7 Nopember 2008