Ragam Ekspresi Beragama

BANYAK ragam bagaimana seseorang mengekspresikan atau mengamalkan keberagamaannya. Ada dimensi agama yang sifatnya sangat personal, tidak terlihat (esoteris) karena berada pada wilayah hati yang orang lain tidak mengetahuinya, tetapi ada pula ekspresi keberagamaan yang terlihat orang lain (eksoteris).

Dalam Islam, semua perilaku kesalehan yang mendekatkan diri kepada Tuhan itu masuk dalam kategori takwa, ibarat jalan besar (syari’) menuju Tuhan dan seseorang memiliki banyak jalan dan lorong kecil (sabil) yang menghubungkannya ke jalan besar.

Untuk menjadi pribadi yang sempurna dan utuh (kaffah) yang mampu melaksanakan semua perintah Tuhan rasanya tidak mungkin mengingat tiap orang memiliki keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Yang bisa diraih adalah berusaha berjalan di atas jalan Tuhan sesuai dengan kapasitas dan pilihannya. Sementara di sana terdapat banyak jalan menuju Tuhan sehingga ekspresi keberagamaan masyarakat juga beragam.

Bagi umat Islam, terdapat ritual keberagamaan yang seragam seperti salat menghadapkan muka ke arah Kakbah meskipun muka hatinya tertuju hanya kepada Allah Yang Esa. Begitu pun umat Islam sepakat tentang kerasulan Muhammad dan kitab suci Alquran. Pendeknya doktrin rukun Islam dan rukun Iman umat Islam seragam.

Tapi dalam melaksanakan perintah Tuhan, terutama dalam konteks ibadah sosial, pilihan dan manifestasinya sangat beragam mengingat yang namanya amal saleh itu bermacam-macam perintah dan pilihannya. Tidak hanya ibadah sosial, ritual keagamaan di luar yang wajib, yaitu sunah, juga banyak sekali peluang dan pilihannya.

Ibadah salat sunah, misalnya, belasan macam jumlahnya sehingga jika seseorang ingin mengumpulkan pahala atau keutamaan salat sunah tak akan ada habis-habisnya bisa dilakukan. Begitu juga keutamaan membaca Alquran, setiap saat terbuka peluangnya.

Ibadah sosial juga banyak ragamnya, sejak dari memberi senyum, mendoakan, menolong, dan bersedekah kesemuanya itu ibadah sosial di jalan Tuhan yang sangat dicintai Allah. Bahkan keluar rumah mencari ilmu atau bekerja menjemput rezeki juga ibadah, sebuah kesalehan sosial.

Mereka yang aktif di dunia politik selagi niat, tujuan, dan cara yang ditempuhnya baik dan benar dengan mengikuti rambu-rambu agama, itu juga ekspresi kesalehan dalam beragama. Tak kalah saleh dan mulianya juga para guru yang mendidik anak-anak agar tumbuh jadi anak pintar dan berbaik budi. Pahala yang dijanjikan Allah untuknya juga melimpah.

Jadi, sekali lagi, kesalehan beragama itu banyak jalan dan beragam ekspresinya. Makanya kita tidak dibenarkan merasa diri paling takwa, paling benar, paling saleh, lalu menyalahkan dan meremehkan keberagamaan orang lain. Setiap orang memiliki peluang dan kesempatan serta komitmen yang berbeda-beda. Setiap orang juga tak ada yang bisa membebaskan diri dari berbuat salah dan dosa.

Makanya sangat logis dan menjadi kabar gembira bahwa Tuhan itu maha pengampun. Kalau saja kita ingin barter amal saleh dengan surga, pasti bobot amal kebaikan kita jauh tidak sebanding. Tidak cukup untuk membeli surga. Hanya karena kasih dan ampunan Allah saja seseorang itu bisa masuk surga karena Allah yang memiliki dan punya hak prerogatif untuk memasukkan hamba-Nya ke surga.

Keragaman berpikir dan berekspresi beragama itu termanifestasikan, misalnya, dengan ada orang yang menonjol dalam ibadah sosial, tetapi miskin dalam ibadah ritual. Atau sebaliknya. Ada orang yang dermawan dengan hartanya. Ada lagi yang bisanya bersedekah dengan tenaga atau ilmunya.

Mungkin saja ada yang beramal saleh dengan memanjatkan doa untuk kebaikan teman dan tetangganya. Mungkin juga mereka yang berdemo di jalan itu niatnya juga ibadah sosial.

Jadi, pada level paling dalam, esoteris, kita tidak tahu bobot niat dan keikhlasan seseorang baik ketika melaksanakan ritual maupun aktivitas sosial. Hanya Tuhan yang tahu.

Oleh karenanya, tugas negara dan kewajiban umat beragama adalah menjaga kedamaian dan etika sosial. Menjaga ketertiban ruang publik. Silakan orang mengekspresikan keberagamaannya selama tidak mengganggu hak-hak orang lain dan ketertiban serta kedamaian publik. []

KORAN SINDO, 15 Desember 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Kemenangan Ide dan Kemenangan Kelompok

AKHIR-akhir ini saya membaca beberapa artikel dan juga mengikuti diskusi seputar persoalan: apakah agama cukup efektif membentuk moral masyarakat? Secara normatif-teoritis berbagai argumen dikemukakan bahwa agama diturunkan untuk memperbaiki moral masyarakat. Dalam kitab suci juga bertaburan statement bahwa agama mengajarkan kebajikan sosial dan siapa yang melanggarnya akan dijatuhi hukuman di akhirat nanti.

Kemudian berbagai penjelasan deduktif-normatif agama itu diperhadapkan pada realitas sosial, banyak negara dan masyarakat yang tidak peduli agama, tapi etika sosialnya lebih baik. Tingkat korupsi rendah. Mereka bahkan hidup damai, saling menghargai hak-hak orang lain. Negara terasa hadir melindungi warganya jika memperoleh ancaman dari siapa pun orangnya.

Sementara di berbagai negara dan masyarakat yang meneriakkan slogan dan ajaran agama, masyarakatnya ribut terus, bahkan saling mengancam. Tingkat korupsi tinggi. Demikian juga pelanggaran atas hak-hak asasi seseorang juga tinggi.

Jadi, masing-masing pihak memiliki sudut pandang dan argumen berbeda mengenai relevansi dan urgensi agama dalam pembentukan moral masyarakat. Ada sekelompok orang yang lebih mementingkan kehidupan akhirat dan tidak serius mengurus dunia.

Sebaliknya terdapat sekelompok orang lebih peduli membangun kehidupan dunia agar kehidupan dunia enak, aman, dan indah ditempati, tidak begitu peduli soal akhirat.

Ada lagi masyarakat dan negara yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi. Adapun masalah sosial kenegaraan diatur dengan hukum positif. Secara retorik tentu ada yang ingin membuat keseimbangan dunia dan akhirat.

Namun, jika ditimbang secara empiris, beberapa masyarakat sekuler memang lebih fokus mengatur dan membangun dunia dengan berbagai teknologi dan instrumen hukum positif sehingga siapa yang melanggar sanksinya tidak perlu menunggu di akhirat. Langsung dijatuhi hukum di dunia, seperti Pemerintah China yang tak segan-segan menjatuhkan hukum mati terhadap para koruptor.

Secara psikologis, mungkin sanksi hukum di depan mata lebih menakutkan ketimbang ancaman neraka yang pelaksanaannya setelah mati dan secara empiris siksa neraka itu merupakan keyakinan teologis yang sulit dibuktikan di dunia saat ini.

Persaingan dan perdebatan seputar peran agama bagi pembentukan moral masyarakat kadang muncul dalam format kontestasi antara kemenangan ide dan kemenangan kelompok. Mengingat nilai dan pesan agama itu universal, maka asumsinya siapa pun yang mengapresiasi dan menerapkan nilai-nilai agama akan memperoleh kebaikan dalam kehidupan sosialnya, sekalipun mereka tidak menyatakan beragama dan tidak bertuhan.

Sebaliknya, sekalipun sebuah masyarakat mengaku beragama dan bertuhan, jika tidak menerapkan nilai-nilai agama dalam konteks moral-sosial, maka mereka semakin jauh dari spirit agama. Jadi, perlu dibedakan antara kemenangan ide dan kemenangan kelompok.

Ada kelompok yang mengaku dan menggunakan slogan serta simbol agama dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya, misalnya dalam kontestasi politik dan ekonomi, tetapi meninggalkan nilai-nilai serta etika agama dalam perilaku sosial dan politiknya.

Sementara masyarakat yang diposisikan sekuler, bahkan secara teologis kadang dicap kafir, tetapi moral sosialnya justru lebih dekat dengan pesan-pesan agama. Etika sosial lebih baik. Pemberantasan korupsi lebih berhasil. Perhatian pada fakir miskin lebih baik. Penghargaan pada ilmu pengetahuan lebih tinggi.

Akhirul kalam, mengingat agama diturunkan tidak saja menjanjikan keselamatan di akhirat, melainkan juga membangun peradaban di muka bumi (fiddunya khasanah), maka sebuah agama akan mudah tersebar dan diterima masyarakat selama ajarannya juga telah terbukti atau disertai bukti, prestasi dalam membangun peradaban di muka bumi. Misalnya agama Islam yang sering dibanggakan dan dianggap abad keemasan adalah ditandai dengan prestasinya di bidang ilmu pengetahuan mengalahkan prestasi komunitas agama lain.

Aspek ritual dan teologi, pijakannya sangat kuat dan berdirinya kokoh sampai hari ini. Tetapi dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik, justru gambarannya suram dan seram. Maka ada yang kemudian berpendapat, kemenangan Islam itu mestinya ditekankan pada kemenangan ide, nilai, dan tidak selalu berarti kemenangan kelompok. []

KORAN SINDO, 8 Desember 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Muhammad, sang Pencerah Zaman

BAGI umat Islam, Nabi Muhammad SAW tidak saja diposisikan sebagai nabi pamungkas seluruh nabi sebelumnya, tetapi juga sebagai sosok historis yang memberikan andil besar dalam membangun peradaban dunia. Beliau ialah pencerah zaman. Ajaran Islam yang diwariskan dan rekam jejak serta model kepemimpinannya telah menarik minat para sejarawan dunia, tidak terbatas pada intelektual muslim.

Salah satu ukuran kebesaran seorang tokoh sejarah bisa dilihat dari warisan ajarannya yang dianut dan dijaga oleh miliaran penduduk bumi. Kemudian, itu masih bertahan serta berkembang terus tanpa terputus mata rantai kesejarahannya dan autentisitas dokumen kitab sucinya.

Dalam perjalanan sejarahnya semua agama, termasuk Islam, mesti berinteraksi dengan budaya setempat sehingga pada urutannya agama dan budaya tidak mungkin dipisahkan, sekalipun asal-usulnya bisa dibedakan. Ajaran agama diyakini berasal dari Allah yang diwahyukan melalui Rasul-Nya, sedangkan budaya ialah hasil kreasi budi daya manusia, yang keduanya, saling mendukung dan memerlukan.

Agama tidak akan berkembang tanpa instrumen budaya. Agama punya klaim kebenaran universal, sedangkan ekspresi budaya selalu bersifat lokal-kontekstual sehingga kita mengenal konsep kebenaran normative-universal dan kebajikan partikular (local wisdom)

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penutup para rasul Allah. Namun, jika sosok Muhammad diposisikan sebagai tokoh sejarah pencerah zaman, akan terlihat bahwa setelah Muhammad memang tak ada lagi rasul Allah yang membawa ajaran baru.

Di berbagai belahan bumi, pernah muncul tokoh-tokoh pencerah zaman yang membawa pesan Allah yang warisannya tetap bertahan dan tumbuh meskipun kita tidak tahu sejarah hidup pembawanya. Asumsi ini sangat sejalan dengan Alquran yang menyatakan bahwa Allah pernah mengirim rasul-rasul-Nya ke muka bumi, sebagian diceritakan dalam Alquran dan sebagian lagi tidak diceritakan (Al Mukmin 40 : 78).

Berbagai warisan ajaran rasul Allah, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, merupakan al-hikmah al-khalidah atau perennial wisdoms yang menjadi inspirasi tumbuhnya nilai-nilai dan tradisi kebaikan (al-ma’ruf) yang berkembang di berbagai komunitas di muka bumi, apa pun suku dan agamanya. Kecenderungan masyarakat memilih kebaikan, yang dalam bahasa Alquran disebut al-khair dan al-ma’ruf juga didorong fitrah yang ditanamkan Allah kepada setiap anak Adam yang pada dasarnya selalu menyenangi kebaikan, kebenaran, kedamaian, dan keindahan.

Jadi, menurut ajaran Rasulullah Muhammad, setiap pribadi pada dasarnya baik dan mengarah pada kebaikan, apa pun etnik dan keyakinannya. Kata khair (kebaikan) yang puluhan kali disebutkan dalam Alquran seakar dengan kata khara (memilih) dan ikhtiar yang artinya sebuah tindakan akan memiliki nilai moral kebaikan jika dilakukan atas dasar pertimbangan secara sadar dan pilihan bebas. Bukan produk ancaman dan keterpaksaan.

Oleh karena itu, Allah berfirman, tak ada kebaikan dan kesalehan dalam beragama jika dilakukan karena terpaksa (Albaqarah 2: 256). Jika kita mau jujur dan berempati pada tradisi-tradisi masyarakat mana pun di muka bumi ini akan ditemukan spirit dan dorongan untuk hidup secara baik, benar, damai, dan indah.

Rasulullah Muhammad sendiri menyatakan bahwa kehadirannya untuk menjaga, meneruskan, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para rasul Allah yang sebelumnya. Dengan kata lain, ajaran Islam bersikap inklusif, menghargai ajar-an para nabi sebelumnya dan berbagai hikmah dari mana pun datangnya. Oleh karena itu, dalam studi Islam dibedakan antara kajian Islam tekstual-normatif dan Islam historis-sosiologis. Yang kedua ini ialah Islam yang dipahami, ditafsirkan, dan diekspresikan para pemeluknya sehingga melahirkan fenomena Islam Arab, Islam Nusantara, dan Islam di berbagai wilayah lain.

Dalam konteks ini ekspresi keislaman di Indonesia jauh lebih kaya ketimbang di Timur Tengah karena pemahaman dan perkembangan Islam tak bisa dipisahkan dari pengaruh budaya pemeluknya. Makanya, kita perlu membedakan antara Islamisme dan Arabisme, sebagaimana juga kita mesti membedakan antara Islam doktrinal dan Islam kultural. Antara budaya dan wahyu. []

MEDIA INDONESIA, 30 November 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

Toleransi Bermazhab

Pernah para ilmuwan sosial Barat memprediksi bahwa agama itu akan mati pelan-pelan, atau minimal terpinggirkan perannya dari kehidupan sosial karena kebutuhan hidup manusia akan dipenuhi oleh jasa sains, teknologi, dan filsafat. Namun, ramalan itu ternyata meleset. Sentimen agama bangkit dan menguat kembali.

Bahkan agama menjadi pertimbangan penting dalam diplomasi politik dan bisnis global. Di samping bangkitnya sentimen keagamaan, dalam semua komunitas agama selalu muncul beragam mazhab (school of thought) dalam memahami ajaran kitab sucinya. Ada juga mazhab yang kemudian berkembang menjadi sekte. Perbedaan mazhab dan sekte ini menambah kegaduhan dan konflik antarumat beragama. Mazhab dalam tradisi Islam adalah sebuah metode yang rasional, sistematis, yang dilakukan oleh ilmuwan/ulama ahli untuk menggali pesan dasar agama yang bersumber pada Al Quran dan hadis sehingga hasil kajiannya menjadi rujukan bagi masyarakat awam.

Mengingat disiplin ulama itu beragam, maka dalam Islam juga muncul beragam mazhab. Kebangkitan agama di beberapa negara juga diiringi dengan kemunculan mazhab yang menyatu dengan menguatnya identitas etnis (etno-religion). Mereka yang senang berkonflik karena alasan beda agama, biasanya juga sudah terbiasa berkonflik dalam internal komunitas seagamanya hanya karena beda mazhab.

Di kalangan umat Islam muncul mazhab yang tak segan-segan mengafirkan sesama umat Islam. Bahkan sampai pada tindakan membunuh atas nama jihad. Dunia terasa semakin plural, sekaligus juga semakin sesak dan hiruk pikuk diramaikan oleh konflik mazhab dan agama. Dengan demikian, agenda membangun toleransi antarumat beragama haruslah dimulai dengan membangun toleransi intra umat seagama. Toleransi tidak berarti pendangkalan agama, justru menjalankan pesan agama yang mengajarkan untuk hidup saling menghargai, meskipun berbeda keyakinan.

Sebatas yang saya tahu, perbedaan mazhab itu bermula dari pendekatan dan pemahaman yang berbeda terhadap teks Al Quran dan hadis. Teks kitab sucinya sama, tetapi pemahaman dan kesimpulannya bisa berbeda karena memahami sebuah teks itu sesungguhnya juga memproduksi pengetahuan baru dengan modal kapasitas ilmunya yang dipengaruhi oleh kepentingan dan lingkungan geografis serta sosialnya.

Dalam kajian agama-agama, adalah Islam yang sangat mengandalkan sumber teks, yaitu Al Quran yang aslinya keluar dari lisan Nabi Muhammad, yang merupakan mukjizat-Nya. Yang kedua adalah teks hadis, sebuah himpunan yang berisi ucapan dan catatan perilaku pribadi Nabi Muhammad. Teks Al Quran diyakini oleh umat Islam didikte langsung kata per kata oleh malaikat Jibril pada Muhammad, sedangkan hadis adalah ucapan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa, tetapi hidupnya selalu dibimbing oleh Jibril.

Ucapan dan tindakan Nabi Muhammad ada yang dimaksudkan sebagai contoh dan penjelas pesan Al Quran untuk umatnya, tetapi ada juga sebagai tindakan kemanusiaan sebagaimana penduduk Arab waktu itu. Dengan kata lain, sosok Nabi Muhammad adalah a historical person. Bukan sosok yang diselimuti mitos sehingga perilakunya tidak mungkin dipahami dan ditiru oleh umatnya. Ucapan dan tindakannya bisa dibedakan antara yang bersifat kultural dan doktrinal keagamaan.

Bermula dari teks

Teks wahyu Al Quran turun secara berangsur selama 23 tahun, berdialog, bergumul, dan terlibat langsung dengan perkembangan dan perubahan sosial yang berlangsung saat itu. Hanya dalam waktu singkat, menurut ukuran sejarah, dunia Arab berubah total dan mewariskan mata air peradaban yang memengaruhi jalannya sejarah dunia yang denyutnya masih berlangsung sampai hari ini. Banyak pembesar Arab kala itu dan juga rakyat jelata yang berubah pikiran dan tindakannya setelah memahami teks Al Quran dan keteladanan hidup Muhammad. Baris-baris ayatnya mampu mengubah perilaku dan tatanan masyarakat. Bermunculan pemikir dan filsuf di abad tengah setelah menyelami teks Al Quran. Terjadi hubungan dialektis yang sangat intens dan produktif antara teks, wacana, dan peristiwa. Sabda menciptakan peristiwa, peristiwa mengundang respons sabda. Namun, saat ini terdapat kecenderungan, teks lepas dari konteks dan realitas empiris, sementara teks Al Quran bersanding dengan jutaan teks lain tanpa dikawal Nabi.

Berbeda dari Al Quran, hadis merupakan ucapan Muhammad yang terjadi dalam ruang dan waktu yang spesifik dan tak memerlukan banyak penafsiran dari sahabat sehingga mudah dipahami maksudnya. Kalau tak paham, sahabat bisa langsung bertanya pada Nabi Muhammad. Sosok Nabi adalah seorang mahaguru dan model untuk ditiru, baik ucapan maupun tindakannya. Namun, dengan berjalannya waktu, bisa saja teks hadis dipahami hari ini secara literer terlepas dari diskusi konteknya, misalnya, pemahaman terhadap teks ”celana cingkrang”.

Adapun posisi Al Quran lebih otonom, karena pembicaranya adalah Tuhan. Di dalamnya pun banyak ungkapan yang memerlukan perenungan dan penafsiran. Kalau teks hadis aktor pembicaranya adalah Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabatnya, sedangkan teks Al Quran diterima secara pribadi oleh Muhammad, bersifat meta-historis. Pembaca tidak bisa melakukan verifikasi langsung kepada Tuhan sebagai pengarangnya. Padahal, Al Quran merupakan rujukan utama bagi umat Islam. Bagi orang awam yang bisa dilakukan adalah mengikuti pendapat para ahli yang dianggap punya otoritas keilmuan dalam ilmu tafsir, sekalipun di antara mereka juga muncul berbagai pemahaman atas pesan teks Al Quran.

Dengan demikian, munculnya perbedaan tafsir dan pemahaman yang pada urutannya mengkristal menjadi mazhab adalah sebuah keniscayaan. Jika ditelusuri ke belakang akarnya adalah teks Al Quran itu sendiri yang memungkinkan, bahkan menghajatkan, penafsiran. Sampai hari ini pun Universitas Al-Azhar di Mesir masih memiliki Jurusan Ilmu Tafsir. Artinya, pewahyuan Al Quran sudah final, tetapi penafsirannya berkembang terus. Jumlah buku tafsir jauh berlipat-lipat melebihi lembaran Al Quran. Teks itu berbunyi ketika dibaca dan dipahami oleh pembacanya, sedangkan pembaca bukanlah alat rekaman kosong yang pasif tanpa perspektif dan tanpa interes. Membaca sebuah teks juga berarti memahami, menafsirkan, dan menulis teks baru dalam lembaran mental berdasarkan hasil tafsirannya. Bisa saja teks baru itu dihapal atau ditulis.

Membangun konsensus

Mengutip Heidegger, language is the house of being. Manusia itu mengada membangun dunianya dengan dan di dalam bahasa. Bahasa tak sebatas ucapan dan gestur, lebih mendasar lagi di dalamnya ada logika dan intensi. Ketika seseorang diam melamun, sesungguhnya dia juga berbicara dengan logika dan bahasa batinnya. Tanpa bahasa dan logika dunia sekeliling ini tak bisa distrukturkan dan dipahami. Tanpa logika dan bahasa tak akan muncul teks, dan tanpa logika teks tak akan berbunyi. Karena itu, ketika seseorang memahami kitab suci, capaian kedalaman dan keluasannya dalam menggali maknanya akan dipengaruhi kekayaan bahasa dan pengetahuan yang dimilikinya, sebagaimana orang menyelam ke lautan lepas, tingkat kedalamannya akan dipengaruhi oleh kecanggihan menyelam dan teknologinya. Orang yang tak paham bahasa Arab dan tak punya modal pengetahuan, maka teks Al Quran tak akan memunculkan maknanya.

Makna itu terkurung dalam teks. Ketika teks Al Quran diterjemahkan, sesungguhnya terjemahan adalah bentuk tafsir paling pendek dan paling singkat, dengan risiko kehilangan beberapa karakter yang melekat pada bahasa aslinya, terutama ”rasa bahasa” serta idiom-idiom yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain sehingga mungkin sekali ada makna yang lepas.

Jadi, semua bangunan ilmu pengetahuan adalah sebuah konsensus yang dibangun oleh komunitas ilmuwan. Kita semua hidup dalam jejaring dunia tafsir yang dibangun oleh para ilmuwan. Ciri ilmu itu terbuka, ibarat pohon, yang menjadi pupuknya adalah riset dan kritik terus-menerus agar pohon ilmu selalu tumbuh. Kritik yang sehat dan konstruktif akan terjadi selama para ilmuwan memiliki kejujuran dan sikap saling menghargai terhadap pendapat yang berbeda.

Ketika ilmu bergeser menjadi ideologi, daya kritis cenderung menurun dan closed ended, padahal kebenaran ilmu itu bersifat open ended. Ideologi cenderung menekankan pilihan ”menang-kalah”, ilmu menekankan ”benar-salah”, sedangkan etika menekankan ”baik-buruk”. Sampai-sampai ada ungkapan, ilmuwan itu boleh salah, tetapi tak boleh bohong. Sedangkan ideolog itu kalau perlu mesti bohong untuk mengalahkan lawannya, meskipun tindakan dan omongannya salah dan dosa.

Masyarakat Indonesia sesungguhnya punya modal sosial untuk hidup toleran, saling menghargai perbedaan, sebagaimana tecermin dalam moto Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari realitas sosial dan sejarah. Sikap itulah yang memungkinkan berbagai agama tumbuh berkembang di negeri ini dengan damai, meskipun akhir-akhir ini muncul kelompok yang merusak tradisi dan karakter masyarakat Indonesia yang senang pada musyawarah dalam suasana kekeluargaan. Jika tradisi kritis dalam suasana yang saling menghargai hilang, bangunan ilmu dan peradaban akan keropos, tak berkembang. Yang mengemuka lalu sikap ”menang-kalah” karena dorongan emosi dan kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa dan masyarakat pada umumnya. Memasuki tahun politik, sangat mungkin agama dan sentimen mazhab akan dikapitalisasi jadi instrumen politik ketika partai politik tak lagi menarik bagi anak-anak muda karena kegagalan parpol sendiri untuk mengajukan kader-kadernya yang difavoritkan masyarakat. []

KOMPAS, 04 November 2017

Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Kritik Keberagaman

Agama secara normatif-ideal itu serba bagus dan indah diceritakan. Tetapi, agama sebagai realitas sosial yang ditampilkan oleh pemeluknya tak sepi dari kekurangan dan penyimpangan. Maka, wajar kalau agama yang awalnya sebagai kekuatan kritik sosial dalam perjalanannya sering kali jadi sasaran kritik.

Kritik yang cukup tajam yang dialamatkan pada praktik keberagamaan antara lain datang dari Karl Marx. Dalam pandangannya, banyak orang lari pada kehidupan beragama sebagai pelarian karena kalah bersaing dalam perebutan kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka letih dalam perang ekonomi, lalu mencari ketenangan dalam dunia metafisik.

Dalam ruang agama, seseorang akan memperoleh penawar dan hiburan, tak usah khawatir dan bersedih kehilangan kenikmatan dunia, karena Tuhan akan memberikan ganti kenikmatan akhirat yang jauh lebih indah dan membahagiakan. Kritik serupa juga datang dari Nietzche. Karena kalah dalam persaingan dan perebutan kekuasaan, orang beragama akan lari pada Tuhan yang diyakini maha besar dan kuasa agar membantunya dalam mengalahkan lawan-lawan yang menindasnya.

Jadi, dalam pandangan Marx, Tuhan akan menyediakan surga bagi orang beragama sebagai kompensasi kekalahan di dunia, sedangkan Nietzche, agama akan menghadirkan Tuhan yang mahakuat untuk membebaskan ketertindasannya. Sementara Freud punya kritik senada, menganggap orang beragama itu karena mengalami krisis kasih sayang lalu mengharapkan kehadiran Tuhan yang mahakasih untuk menenteramkan dan menghibur jiwanya yang gundah gulana.

Apakah berarti Marx, Nietzche dan Freud anti-Tuhan dan antiagama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Yang jelas, yang mereka kritik adalah perilaku orang beragama berdasarkan pengamatan dan pergaulan mereka semasa hidupnya di lingkungan sosial yang tengah gandrung terhadap rasionalisme, saintisme, dan modernisme. Kehidupan beragama mereka anggap sebagai pelarian dan hiburan bagi orang yang kalah dalam persaingan hidup dan tidak mau kerja keras. Mereka mengkritik dunia, kecewa terhadap dunia, lalu lari ke alam metafisik. Akibatnya, perkembangan dunia dikuasai dan dikendalikan oleh saintis dengan kecanggihan teknologinya, sementara orang beragama lebih sibuk dan menghibur diri dengan dunia metafisik, menawarkan keselamatan dan kemenangan setelah kematian.

Historisitas agama

Meskipun obyek kajian dan perhatian utama agama adalah alam metafisik, sesungguhnya semua pemikiran dan perilaku keberagamaan berangkat dari dan berakar pada kehidupan nyata yang bersifat historis-sosiologis. Sepanjang yang beragama manusia, maka pemikiran dan perilakunya terbentuk oleh tradisi dan lingkungan sosialnya di mana seseorang lahir dan tumbuh. Keberagamaan adalah bagian dan kebutuhan eksistensial manusia. Meskipun agama tidak selalu ilmiah dan rasional, agama secara fungsional memberikan ketenteraman jiwa dan makna kehidupan.

Secara ontologis agama yang diyakini datang dari Tuhan, ketika dipahami dan dikembangkan oleh pemeluknya dalam pelataran sejarah, maka mesti membaur antara yang diyakini suci dan yang profan. Membaur antara teks kitab suci dan penafsiran serta pemahaman pemeluknya sehingga pemahaman agama yang murni sesuai kehendak Tuhan itu tak pernah ada. Misalnya saja Al Quran, pemahaman masyarakat Arab hari ini dan masyarakat Arab abad keenam sudah pasti berbeda perspektifnya. Lebih berbeda lagi ketika Al Quran dipahami oleh masyarakat Indonesia dengan lingkungan alam serta bahasa yang sangat berbeda. Sementara karakter dan kekayaan khazanah bahasa Indonesia sangat berbeda dan tak sekaya bahasa Arab dalam hal idiom dan kosakatanya.

Makanya, logis jika pendekatan dan terjemahan tekstual terhadap Al Quran mengalami distorsi dan deviasi makna. Meminjam istilah Gadamer, perjumpaan pembaca dan sebuah teks itu akan melahirkan the fusion of horizons. Teks akan memengaruhi pembacanya, dan subyektivitas serta wawasan pembaca juga akan memengaruhi pesan teks yang muncul. Tentu saja umat Islam yakin bahwa Al Quran itu hanya satu dan pasti benar adanya karena merupakan himpunan kalam Tuhan. Namun, nalar manusia yang memahaminya terbatas dan pemikirannya pun merupakan produk sejarah, tak akan bisa terbebas dari kekurangan dan keterbatasan ketika menafsirkan teks Al Quran.

Pengetahuan manusia tetap relatif, tak absolut, meski tak berarti meaningless dan jatuh pada nihilisme. Jadi, kalau hari ini dunia Islam mengenal mazhab Suni, Syiah, dan mazhab lainnya lagi, sudah pasti di masa Rasulullah tak dikenal mazhab-mazhab itu. Semuanya itu produk penafsiran atas teks, baik teks Al Quran maupun teks Hadis dan buku-buku sejarah, yang senantiasa berkembang terus. Pemikiran dan pemahaman atas teks akan melahirkan tindakan yang ketiganya tanpa disadari cerminan dari kondisi sosial dan semangat zamannya. Misalnya, ada masa di mana umat Islam Indonesia sangat peduli dan gigih memperjuangkan kemerdekaan sehingga perbedaan mazhab itu tak mengemuka.

Makanya terdapat sederet pejuang wanita Islam yang tak berjilbab, tetapi tak pernah dipersoalkan. Begitu pula para istri kiai cukup menutup rambut sekadarnya saja. Lalu teman-teman Ahmadiyah dan penganut Syiah hidup tenang-tenang saja, tak pernah merasa terancam. Namun, sekarang topik itu selalu jadi bahan perdebatan. Jadi, pemahaman dan tindakan keberagamaan itu tidak pernah tunggal dan selalu berkembang dinamis, dipengaruhi zamannya.

Dulu kata ”kaum sarungan” itu selalu dikaitkan dengan kaum santri yang taat menjalankan agama. Sekarang muncul fenomena baru, simbol jemaah yang militan dalam beragama itu sering dikaitkan dengan mereka yang ”bergamis” dan mereka yang mengenakan ”celana cingkrang” serta memelihara ”jenggot”. Ini semua merupakan teks sosial, pesan apakah yang hendak disampaikan oleh simbol-simbol itu, adakah simbol-simbol itu mencerminkan realitas yang sejati dan obyektif, kita tidak tahu karena yang kita tangkap sebatas penanda atau teks yang bersifat simbolik.

Mengutip pendapat Jean Baudrillad, di era visual, signifier tidak selalu mencerminkan realitas signified. Antara penanda dan petanda tak selalu berkorelasi positif karena citra lebih diutamakan ketimbang substansi. Makanya bermunculan sampah visual yang menipu yang selalu menyergap kita. Ekspresi keberagamaan umat Islam di Barat dan di Timur Tengah, misalnya, berbeda lagi. Di kawasan Arab, sekalipun mereka tinggal di daratan yang sama, agama, dan bahasa juga sama, umat Islam tersebar di 20 negara yang sampai hari ini bertengkar terus.

Lebih dari itu, identitas keislaman telah direduksi menjadi penganut Suni dan Siah. Ditelusuri lagi terbagi antara teman dekat Saudi dan Iran. Kondisi dan semangat zaman Timur Tengah hari ini sangat berbeda dari Indonesia sekalipun pengaruh dan imbasnya sampai ke sini. Negara-negara Arab yang menganut sistem demokrasi tengah mengalami krisis dan gejolak, sementara yang berada di bawah kesultanan rakyatnya lebih tenang dan terkendali. Ada lagi varian yang ingin memperjuangkan sistem khalifah. Dari semuanya itu, mana yang lebih Islami? Masing-masing punya logika dan kondisi sosial yang berbeda. Yang bisa kita lakukan adalah memahami lebih dahulu sesungguhnya apa yang terjadi, bukannya langsung menghakimi.

Kekuatan peradaban

Jika dirunut ke sejarah awal mula agama muncul, setiap agama selalu memiliki agenda membangun peradaban. Ingin membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan, serta menawarkan kedamaian. Semangat ini sangat sejalan dengan cita-cita dan agenda kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karenanya, umat Islam Indonesia merasa terpanggil, bersama kekuatan sosial lain, untuk memperjuangkan kemerdekaan agar warga Nusantara yang tersebar di ribuan pulau ini memiliki rumah bangsa dan negara yang berdaulat agar rakyatnya cerdas dan sejahtera. Sadar akan kebinekaan etnis, bahasa, agama, dan kondisi geografis yang merupakan negara kepulauan, sejak awal para pendiri bangsa secara genius dan visioner mewariskan moto: Bhinneka Tunggal Ika.

Kebinekaan ini merupakan kenyataan dan modal sosial. Bukan lagi Indonesia kalau keragaman ini hilang sehingga kita semua mesti merawatnya. Nilai luhur yang jadi landasan dan juga tujuan bernegara itu dirumuskan dalam Pancasila. Seiring berjalannya waktu, hubungan agama dan negara secara politis kadang memunculkan masalah serius. Definisi negara dan agama berkembang mengingat agama sebagai realitas sosial juga telah berbaur dengan tafsiran dan kepentingan pemeluknya. Begitu pun negara yang dibayangkan oleh generasi pejuang kemerdekaan dan politisi hari ini terdapat perbedaan persepsi dan perspektif.

Konsep kedaulatan dan kemandirian yang dibayangkan pendiri bangsa tak lagi populer di era globalisasi ini, diganti dengan konsep kemitraan dan kontrak kerja sama meskipun dalam praktiknya terselubung penguasaan dan kolonialisasi oleh negara yang lebih kuat sebagaimana masa pra-kemerdekaan. Artikulasi dan partisipasi sosial umat Islam tidak lagi solid dan fokus seperti masa pra-kemerdekaan, kecuali Muhammadiyah yang konsisten mengurus pendidikan dan rumah sakit serta jajaran kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang istiqomah mengurus pesantren dan masyarakat. Umat Islam memiliki tradisi dan andil membangun demokrasi karena dari dulu sudah terbiasa berserikat di luar wilayah negara.

Namun, ketika kultur dan mekanisme demokrasi telah menjadi bagian dari gerakan global yang dimotori oleh negara, umat Islam terlambat memahami dan mengantisipasi sehingga mereka tidak mampu mengapitalisasi mayoritas suaranya sebagai pilar utama memajukan Indonesia. Umat Islam merasa memiliki modal suara, tetapi terpecah-pecah ke dalam parpol tanpa kepemimpinan politik yang solid, mumpuni, dan visioner yang diterima semua pihak. Anggapan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dipertanyakan oleh kelompok radikal yang kadang mengafirkan sesama umat Islam. Jangan-jangan di mata mereka, jumlah umat Islam tak sampai 25 persen penduduk. Jika ditanyakan pada politisi, jangan-jangan porsi politik umat Islam minoritas. Belum lagi jika dilihat dari aspek ekonomi.

Semua jawaban yang muncul bersifat subyektif karena perspektif dan penafsiran atas negara dan agama juga subyektif, dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing. Secara administratif-demografis, pemerintahan sekarang ini mayoritas adalah Muslim. Tetapi, oleh sebagian kelompok dianggap thaghut atau berhala kafir. Padahal, keislaman orang Indonesia dalam hal menjalankan ritualnya jauh lebih baik dibandingkan umat Islam di negara lain. Demokrasi saat ini lebih dimaknai sebagai perebutan kekuasaan dengan mengandalkan mayoritas suara.

Dalam konteks ini, sentimen dan simbol keislaman menjadi instrumen politik yang efektif untuk membangun solidaritas emosional guna memenangkan sebuah pertarungan demokrasi. Namun, jika mayoritas itu hanya sekadar kerumunan yang bermental crowd mentality, pasti akan kalah dalam persaingan politik dan ekonomi karena miskin kompetensi teknokratik dan jaringan ekonomi global sekalipun mereka memiliki jatah dalam lembaga legislatif. Artinya, keunggulan jumlah angka tidak menjamin umat Islam jadi pilar dan penggerak peradaban. []

KOMPAS, 12 Oktober 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Beragama dengan Marah

Oleh: Komaruddin Hidayat

KATA marah dan ramah itu jumlah dan bunyi hurufnya sama, tapi beda letak posisinya sehingga konotasinya juga sangat beda. Bahkan, bertolak belakang. Kemarahan itu tidak saja muncul dalam relasi sosial sehari-hari dalam urusan yang profan, melainkan dalam beragama kadang kala seseorang memunculkan kemarahan.

Saya kira itu bisa dibenarkan, atau bahkan mungkin diperlukan, ketika dilakukan dalam waktu, tempat, dan peristiwa yang tepat. Terhadap mereka yang terang-terangan dan gamblang menghina dan menodai agama, wajar kalau ada ulama yang mengaku sebagai penjaga martabat agama marah.

Tetapi ketika kemarahan tidak dilandasi dasar yang kuat dan hati yang ikhlas, maka kemarahan hanya akan merugikan dirinya karena ketika seorang marah, ada kecenderungan nalar sehatnya menurun.

Marah yang baik adalah marah yang terkontrol dan memiliki nilai edukatif, baik bagi orang yang marah dan yang dimarahi maupun bagi kebaikan publik. Dalam bahasa teologi dan kitab suci, kadang Tuhan juga digambarkan memiliki sifat marah.

Namun begitu, sifat kasih sayang-Nya jauh melebihi sifat marahnya. Kemarahan Tuhan lebur ke dalam sifat kasih-Nya. Karenanya, Tuhan mengajarkan agar setiap mengawali pekerjaan apa pun hendaknya dimulai dengan mengingat dan menyebut asma Tuhan yang Mahakasih agar sejak dari niat, tujuan, dan caranya dibimbing dan dirahmati oleh Allah.

Adapun yang kadang mengusik hati dan menimbulkan tanda tanya adalah ketika ekspresi keberagamaan disampaikan dengan marah, dengan menggunakan simbol dan istilah-istilah agama, namun konteksnya kurang tepat. Misalnya melakukan penyerangan dengan cara meledakkan bom bunuh diri, sementara sasaran dan korbannya belum tentu bersalah. Bahkan, sangat mungkin satu bangsa dan satu agama.

Mereka itu marah dengan melibatkan simbol dan jargon agama. Padahal, kemarahan itu mungkin saja akibat dirinya terpinggirkan dari dinamika politik dan ekonomi, merasa dirinya terancam dan jadi korban, namun sasaran kemarahannya sesungguhnya tidak jelas. Yang jadi korban pun mungkin nasibnya secara politik dan ekonomi tak beda jauh dari dirinya.

Ada lagi ekspresi kemarahan dalam bentuk verbal, yaitu ungkapan yang penuh kebencian dan cacian dengan disertai istilah-istilah keagamaan, menilai orang yang tidak sepaham dengan kata kafir, munafik, lemah iman, dan sejenisnya. Mereka seakan memiliki hak monopoli untuk menafsirkan dan menentukan kebenaran agama.

Padahal, kalau niatnya ingin berdakwah dan berbagi ajaran agama yang begitu baik dan mulia, maka caranya pun harus baik dan mulia. Dalam kaitan ini, saya salut kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa mengharamkan ujaran fitnah, kebohongan, dan adu domba dalam media sosial (medsos).

Dampak negatifnya cukup parah bagi masyarakat. Sama halnya kita menyebar racun kepada masyarakat sehingga layak diharamkan dan pelakunya, siapa pun, melakukan mesti diingatkan atau diberi sanksi.

Marah yang muncul karena dorongan nafsu like or dislike, tanpa alasan yang benar, hanya akan menimbulkan lawan atau setidaknya membuat persahabatan renggang, bahkan putus. Ujungnya merugikan diri sendiri. Terlebih jika kemarahan urusan politik yang berangkat dari kepentingan pribadi atau kelompok, lalu meminjam dan memanipulasi jargon-jargon agama, ujungnya akan menodai citra dan martabat agama.

Seperti citra Islam yang dirusak oleh teroris. Berbagai ledakan bom di Eropa, pelakunya diidentifikasi sebagai aktivis gerakan keagamaan Islam.

Dalam Alquran memang ada isyarat-isyarat yang membolehkan marah dan maju perang. Tapi yang dominan adalah menebar rahmat.

Bahkan, itu jadi misi Rasulullah. Menebar keramahan, bukan kemarahan. Menebar kebenaran, kebaikan, dan kedamaian. Bukan menebar terorisme dan cacian. []

KORAN SINDO, 9 Juni 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Multiperan Agama

Oleh: Komaruddin Hidayat

Di kalangan sarjana ahli, sulit dirumuskan definisi agama yang bisa diterima dan disepakati bersama. Jadi, sejak merumuskan definisi saja, para sarjana ahli sudah berselisih sehingga mudah dipahami kalau sikap masyarakat terhadap dalil-dalil agama berbeda dari penyikapan mereka terhadap formula sains yang lebih mudah diterima sekalipun beda bangsa dan agama.

Di samping persoalan definisi, juga ada beberapa kategori agama, misalnya, revealed religion dan natural religion. Agama wahyu bikinan Tuhan dan agama evolusi alam rekayasa manusia. Agama langit dan agama bumi. Ada agama rumpun Abrahamik, Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama non-Abrahamik. Dalam literatur filsafat, ideologi semacam Marxisme pun ada juga yang memasukkan kategori religion.

Dibandingkan ideologi sekuler dan ilmu pengetahuan, agama Abrahamik memiliki distingsi tersendiri, yaitu doktrin keselamatan abadi di akhirat nanti, berupa kehidupan surgawi yang telah dijanjikan Tuhan. Bagi orang beriman, seindah dan senikmat apa pun kehidupan dunia tak akan sebanding dengan kenikmatan janji surga yang dijanjikan Tuhan. Oleh karena itu, terdapat pemeluk agama yang lebih mengharapkan kehidupan akhirat dan mengecilkan kehidupan duniawi.

Bahasa agama

Oleh pemeluknya, agama diyakini sebagai jalan keselamatan yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan, yang di dalamnya terdapat kredo, kitab suci, pedoman ritual, konsep tempat suci, dan etika sosial kemasyarakatan. Keyakinan tentang hari akhir, pengadilan ilahi, dan balasan surga-neraka merupakan kredo yang paling fundamental dalam rumpun agama Ibrahim. Oleh karena itu, konsep dan keyakinan akan “jalan keselamatan” (salvation) menjadi inti keyakinan orang yang beriman. Apakah jalan keselamatan, dan bagaimana untuk meraihnya, masing-masing agama memiliki ajaran dan tafsiran berbeda-beda yang tak mungkin dipersatukan, sifatnya doktrinal, sangat pribadi, dan tidak bisa dipaksakan.

Pada awalnya, semua agama merupakan peristiwa dan pengalaman rohani yang bersifat sangat pribadi, kemudian berkembang ke lingkungan sosialnya. Dalam konteks Islam, misalnya, bermula dari cerita dan pengakuan pemuda Muhammad yang ditemui makhluk gaib ketika menyepi bermeditasi di Goa Hira, pinggiran kota Mekkah pada abad ke-6. Di Goa Hira ini, Muhammad menerima wahyu, yang itu diyakini dari Tuhan melalui malaikat Jibril, isinya mengajak manusia menjalani hidup yang benar dan terhormat serta hanya menyembah pada-Nya. Pada awal mulanya Muhammad pun tak tahu, siapa makhluk gaib itu. Secara historis-ilmiah sejarawan sepakat mengenai peristiwa Muhammad sering ke Goa Hira. Itu fakta historis. Namun, pengakuan Muhammad ditemui malaikat Jibril menerima wahyu Al Quran, hal itu di luar jangkauan ilmu untuk melakukan validasi dan verifikasi. Sejarawan tak bisa menemukan eviden sosok Jibril yang berbicara kepada Muhammad.

Bahwa Muhammad menerima wahyu dari Jibril itu tafsir dan respons iman, didukung argumen penalaran terhadap kebenaran kandungan isi wahyu. Contoh lain, peristiwa Muhammad hijrah ke Madinah, itu peristiwa historis, faktual. Sejarawan Muslim atau non-Muslim sepakat tentang terjadinya peristiwa hijrah. Namun, peristiwa Isra Mi’raj itu peristiwa meta-historis, sifatnya sangat pribadi, menuntut respons iman. Dalam Kristen pun banyak peristiwa serupa. Secara historis, karier hidup Yesus berakhir kalah di tiang salib. Namun, bagi iman Kristen, itu justru peristiwa kemenangan Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut Juru Selamat dan Sang Penebus Dosa. Demikian juga peristiwa Paskah, itu mirip mi’raj dalam Islam, yakni peristiwa rohani yang berada dalam wilayah iman, bukan faktual-historis. Umat Kristen yakin, Yesus dibangkitkan pada hari Minggu, setelah penyaliban pada hari Jumat, lalu naik ke atas (mi’raj) menuju Tuhan.

Dari contoh di atas, dalam tradisi dan paham keagamaan memang sering kali bercampur antara narasi historis dan meta-historis, antara yang faktual dan simbolik-metaforis, sehingga ketika semuanya hanya dipahami secara verbal-literal, pasti akan kehilangan pesan dan makna terdalam. Atau, akan terjadi perbedaan dan konflik tafsir atas teks kitab suci. Padahal, salah satu aspek dan karakter kitab suci yang membuatnya abadi dan selalu hidup serta tidak habis-habis digali dan ditafsirkan adalah karena kekuatan bahasanya yang sebagian simbolik dan metaforik. Dengan demikian, perbedaan tafsir itu memang dimungkinkan dan salah satu sumbernya adalah teks kitab suci sendiri.

Dari aku ke kami

Meski bermula dari pengalaman dan keyakinan pribadi, ketika ajaran agama disebarluaskan kepada lingkungan sosial sekitarnya, muncullah komunitas yang percaya (community of believers) dan mereka yang menyangkal (community of non-believers) yang dalam bahasa Arab disebut kafir atau infidel dalam istilah Eropa. Konsekuensinya, siapa pun orang yang beriman akan disebut kafir oleh komunitas lain yang beda keyakinan agamanya. Menjadi persoalan ketika penilaian dan penyikapan iman terhadap umat yang berbeda, yang semula bersifat pribadi dan komunal, lalu bergerak keluar ke wilayah publik, bahkan berebut hegemoni ruang publik dan jaringan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama. Ini akan dijumpai di berbagai belahan dunia.

Terbentuknya umat beriman ada yang bersifat cair dan kolosal seperti halnya, dalam konteks Islam, ketika umat Islam menunaikan ibadah haji atau melakukan istigasah. Namun, ada juga himpunan umat yang terstruktur dalam ikatan institusi, organisasi, atau bahkan parpol. Namun, yang mudah dijumpai, setiap agama akan melahirkan komune yang memiliki tempat ibadah sehingga di mana pun akan dijumpai bangunan ibadah semacam masjid atau gereja. Tempat ritual itu diyakini sebagai tempat suci di muka bumi yang menghubungkan jemaahnya dengan singgasana Tuhan di langit, tempat menyampaikan rasa syukur, ataupun mohon ampun dan petunjuk jalan keselamatan di dunia sampai akhirat.

Pengelompokan umat seiman ini di Indonesia masih kuat, salah satu faktornya karena diabadikan dalam kartu tanda penduduk. Di sini agama menjadi identitas sosial dan data kependudukan. Di tambah lagi banyaknya ormas keagamaan yang bermunculan. Identitas keagamaan ini diperkuat lagi oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas pembinaan keagamaan yang masuk dalam anggaran belanja negara yang disalurkan melalui Kementerian Agama. Peran agama secara vertikal menghubungkan dengan Tuhan, sedangkan secara horizontal berkembang cukup kompleks, bercabang dan beranting. Ada kalanya agama menjadi motor dan pilar peradaban serta perdamaian, ada kalanya agama dinilai sebagai sumber perpecahan, bahkan motor peperangan.

Pada tahun-tahun awal pertumbuhannya, para Rasul Tuhan dengan ajaran agamanya selalu berpihak dan membela orang tertindas. Maka, para musuh Rasul Tuhan datang dari penguasa yang tiran. Agama hadir sebagai kekuatan pembebas (liberating force). Namun, ketika agama sudah berada di tangan pemenang yang memiliki kekuasaan, tak jarang terjadi pergeseran pendulum peran sosial agama, yaitu sebagai instrumen untuk mengawetkan kekuasaan, bahkan terlibat dalam penindasan. Makanya, sejarah memiliki catatan panjang seputar keterlibatan agama dalam perebutan kekuasaan serta konflik sosial. Pengalaman pahit inilah yang mendorong negara-negara Eropa memilih jalan sekuler dalam mengendalikan kekuasaan. Agama cukup menjadi urusan pribadi, sedangkan politik, ekonomi, dan peradaban dipercayakan pada penalaran dan kekuatan ilmu pengetahuan.

Institusi keagamaan di zaman modern ini mesti bersaing dengan institusi sekuler dalam melayani kebutuhan manusia dan mengatur kehidupan sosial. Seperti dunia kampus, rumah sakit, perbankan, industri, birokrasi pemerintahan dan negara yang kesemuanya merasa bisa berkembang memenuhi hajat penduduk bumi tanpa melibatkan agama. Yang tak tersaingi oleh ideologi dan institusi sekuler adalah agama menawarkan jalan keselamatan di akhirat. Sebuah tantangan bagi para pemikir dan aktivis keagamaan. []

KOMPAS, 03 Juni 2017
Komaruddin Hidayat ;
Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Menimbang Efek Puasa

Oleh: Komaruddin Hidayat

DI berbagai forum diskusi keagamaan sering muncul pertanyaan, mengapa Indonesia yang warganya rajin meramaikan masjid, ibadah umrah, haji, dan puasa Ramadan, masih saja mau melakukan korupsi dan lemah dalam etika sosialnya?

Tulisan ini tidak akan memberi jawaban panjang lebar. Silakan pembaca ikut memikirkannya dan mencari jawaban yang tepat serta mencarikan jalan keluar.

Dalam ibadah puasa setidaknya terdapat tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, aspek puasa yang bersifat metafisis, vertikal, sepenuhnya menuntut respons iman.

Sebuah hubungan yang sangat pribadi antara seseorang dan Tuhannya. Misalnya pahala orang puasa dan keyakinan bahwa bulan puasa adalah bulan pembakaran dosa serta pengampunan, itu semua merupakan keyakinan iman.

Evidence ilmiah secara empiris tidak bisa diukur dan dibuktikan sekarang ini. Pendeknya, orang dituntut untuk meyakininya sebagai respons iman.

Kedua, dampak terhadap aspek psikologis dan fisik terhadap individu yang berpuasa. Berkat ilmu kedokteran dan psikologi, aspek ini bisa diamati dan dibuat instrumen pengukurannya, seperti apakah dampak puasa bagi kesehatan mental dan fisikal.

Bahkan berdasarkan hasil penelitian neurosains, berpuasa selama sebulan akan membantu terjadinya peremajaan sel-sel jaringan otak serta terjadi semacam detoksifikasi, sehingga kinerja otak lebih tenang dan lebih jernih berpikir. Kontribusi ilmu kedokteran untuk meneliti dampak puasa sudah banyak ditulis.

Intinya, puasa itu mendatangkan kesehatan jasmani, sebagaimana sabda Nabi: Berpuasalah niscaya kamu akan sehat. Begitu juga halnya hasil kajian ilmu psikologi, mereka yang berpuasa akan lebih bisa mengendalikan emosi dan memiliki daya juang lebih ketika menghadapi masalah.

Aspek ketiga, yaitu dampak puasa dalam konteks sosial. Ini juga mudah diamati. Perhatikan saja bagaimana suasana di kantor dan kehidupan sosial selama Ramadan.

Terjadi perubahan perilaku dan relasi sosial yang signifikan. Lebih damai, sejuk dan masyarakat lebih mampu menahan diri agar tidak menciptakan keributan yang akan merusak kesucian dan kemuliaan bulan Ramadan. Agenda demonstrasi massa pun biasanya tidak terjadi selama bulan puasa.

Kesan saya mendengarkan berbagai ceramah keagamaan, umumnya yang ditekankan adalah puasa merupakan bulan pembakaran dan pengampunan dosa. Dalam bahasa Arab, kata ramadhan memang punya konotasi pembakaran.

Tetapi jika penekanannya hanya pada aspek metafisiknya, yaitu bulan pahala dan ampunan, maka Ramadan seakan menjadi bulan penebusan dosa yang terakumulasi selama sebelas bulan sebelumnya. Nanti setelah berakhir puasa ditandai datangnya hari Lebaran. Artinya tugas berat sudah usai dilakukan, lalu masuk agenda rutin seperti sedia kala.

Di sini muncul kesan, puasa itu sebuah siklus pengulangan, bukan sebuah proses metamorfosis untuk naik kelas, ibarat ulat berproses menjadi kupu-kupu. Padahal jika dikaji rangkaian ayat tentang perintah berpuasa, juga berbagai sabda Rasulullah, maka aspek puasa mesti berlanjut pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang tahan godaan terutama dari korupsi yang tak kunjung surut pertumbuhannya.

Salah satu kata kunci puasa adalah imsak. Kemampuan menahan diri dari rayuan kenikmatan fisik (physical pleasure) sesaat yang merusak aset kebaikan lebih besar. Pesan imsak ini berlaku universal. Kalau saja dilaksanakan dengan konsisten, dampaknya mudah diamati serta diuji.

Seseorang atau bangsa yang maju ekonominya pada umumnya memiliki ketahanan mental untuk membiasakan hidup hemat, tidak mudah tergoda menghamburkan uang untuk membeli gaya hidup glamour. Tidak senang hidup foya-foya.

Ceramah-ceramah Ramadan mestinya juga menekankan urgensi pembentukan karakter, berangkat dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial, politik, dan birokrasi. Saya pernah baca sebuah buku, lupa persisnya judul dan pengarangnya, bahwa keberagamaan yang lebih menekankan ritual sebagai lembaga atau sosok penebusan dosa, akan membuat etika sosialnya lembek karena merasa berbagai salah dan dosa yang dilakukan akan mudah dihapus cukup lewat ritual.

Dosa sosial-horizontal diselesaikan dengan formula ritual-vertikal. Asumsi atau sinyalemen ini menarik direnungkan. Jangan-jangan sebagian pejabat negara yang rajin umrah, puasa, dan haji tujuan utamanya adalah untuk penebusan dosa-dosa politiknya, termasuk dosa korupsi.

Perlu ditegaskan di sini, tak ada yang salah seseorang melakukan ritual untuk minta ampun pada Tuhan. Tapi perlu juga diingat bahwa berapa banyak ayat-ayat Alquran dan sabda Nabi yang mengajarkan bahwa iman itu mesti berlanjut pada pembentukan karakter serta bertindak jujur dan adil ketika memangku amanat jabatan publik.

Makanya perlu dibuat pembedaan antara sin dan crime. Yang pertama lebih bersifat pribadi dan vertikal, yang kedua adalah kejahatan horizontal di mana sikap Islam sangat tegas dan jelas hukumannya.

Asumsi di atas mungkin juga membantu menjelaskan, mengapa banyak negara sekuler dan kafir tingkat korupsinya rendah. Karena hukumannya langsung dijatuhkan di dunia melalui lembaga pengawasan dan pengadilan yang tegas, tidak mesti menunggu di akhirat, sehingga orang lain mesti berpikir ulang kalau mau korupsi. []

KORAN SINDO, 2 Juni 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Agama di Ruang Publik

Oleh: Komaruddin Hidayat

SEBELUM era kemerdekaan, di Nusantara ini terdapat pusat-pusat keagamaan yang kaya dengan tradisinya yang masih hidup sampai hari ini. Yang dominan tentu saja Islam mengingat jumlah pemeluknya terbesar.

Makanya logis saja jika simbol, tokoh, dan aktivitas keagamaan memenuhi ruang publik, khususnya Islam. Terlebih sekarang ketika iklim kebebasan berekspresi semakin terbuka.

Ada organisasi keagamaan yang sikap dasarnya antisistem demokrasi justru mereka paling efektif dan vokal memanfaatkan instrumen demokrasi untuk berbicara di ruang publik guna menyebarkan gagasannya. Bahkan leluasa menggerakkan massanya melakukan demonstrasi, sebuah aksi yang tak akan bisa dilakukan di negara monarki.

Dalam konteks kehidupan beragama, Indonesia tidak mengenal pemisahan antara ruang negara dan ruang publik. Agama bukanlah urusan privat semata seperti di Barat, tetapi aktivitas dan ekspresi keberagamaan juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung Istana dengan fasilitas negara.

Dengan kata lain, ruang publik menjadi wilayah yang kadang diperebutkan oleh simbol-simbol negara dan agama. Di sana terdapat rujukan hukum adat, hukum agama dan hukum positif yang kesemuanya bisa tumbuh sejalan dan harmonis, tetapi juga potensial menimbulkan benturan dan konflik loyalitas dari warga masyarakat.

Belakangan muncul gejala segregasi sosial yang hendak membenturkan paradigma keumatan dan kewarganegaraan (citizenship). Yang pertama hendak menempatkan hukum agama di atas hukum negara (hukum positif), yang kedua menempatkan hukum agama subordinat pada hukum positif ketika memasuki ruang publik.

Bagi sekelompok orang, bahkan ada yang memandang pemerintahan yang ada itu thaghut atau berhala karena menempatkan hukum positif di atas kitab suci.

Wacana Politik dan Agama

Dalam ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang berkuasa, polisi sebagai pengawasnya.

Dalam kehidupan sosial, wacana keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang publik seperti di mimbar televisi, ceramah-ceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet. Orang pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami perkembangan luar biasa.

Namun sangat disayangkan, banyak isinya yang provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan. Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan iman, perluasan ilmu dan provokasi politik.

Mengenai berkembangnya simbol agama di ruang publik, yang juga fenomenal adalah aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016.

Uniknya, di medsos pun terjadi diskusi mengenai berapa kira-kira jumlah pesertanya. Ada yang menyebutnya di atas 7 juta, ada yang menaksir hanya sekitar 3 juta.

Ada lagi yang membahas, forum itu tujuannya apa, tercapai apakah tidak, dan siapa saja aktor-aktornya? Satu orang mengatakan, adalah Presiden yang akhirnya jadi bintang di forum itu.

Lalu muncul bantahan, Habib Rizieq dkk yang menang karena sanggup menghadirkan Presiden dan Wakil Presiden. Suara lain menyahut, itu semua karena keberhasilan Kapolri yang berhasil mengubah dari format demonstrasi menjadi aksi superdamai doa untuk bangsa.

Demikianlah, sampai menjelang Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 nanti, diduga isu agama akan selalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Dan sifat massa selalu cenderung emosional.

Soliditas dan kekohesifan akan menguat ketika tampil musuh bersama layaknya pertandingan sepak bola klub Bandung melawan Jakarta. Atau kesebelasan Malang melawan Surabaya.

Tapi pilkada tentu tidak sesederhana pertandingan bola. Belakangan ini segregasi sosial berdasarkan sentimen agama selalu saja muncul sehingga dikhawatirkan hal ini akan merusak harmoni sosial yang telah lama tumbuh dan terjaga.

Di Indonesia, hubungan agama, negara, dan politik memang dinamis. Tapi kalau kita tidak bijak dan pandai-pandai menjaga keseimbangan serta tahu batas, situasi ini bisa menghambat dinamika pembangunan dan reformasi.

Kita dibuat sibuk oleh isu agama dan hukum. Semua persoalan bangsa seakan hanya merupakan persoalan agama dan hukum, sedangkan aspek perbaikan ekonomi, pendidikan, dan sains terpinggirkan. []

Koran Sindo, 30 Desember 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Refleksi 1 Muharam Momentum Hijriah

Oleh: Komaruddin Hidayat

SECARA tegas dan jelas Alquran menyatakan kehadiran Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW itu merupakan misi kerahmatan bagi semesta. Islam dalam arti generiknya sesungguhnya mencakup semua agama yang dibawa seluruh rasul Allah sejak Nabi Adam dan setelahnya. Jadi, pada dasarnya semua agama yang berasal dari Allah itu adalah sama dan identik pesannya, sebagai wujud kasih-Nya untuk memimbing manusia ke jalan yang benar, baik, dan membahagiakan.

Setiap agama umumnya memiliki kalender masing-masing untuk menandai hari-hari dan peristiwa besar yang kemudian dirayakan dengan upacara kenegaraan ataupun keagamaan. Peristiwa keagamaan ini pada urutannya melebur ke dalam ranah budaya sehingga upacara keagamaan dan keagamaan saling mengisi. Termasuk juga penetapan kalender agama dan bangsa saling memperkaya. Misalnya, sebagai bangsa besar Tiongkok memiliki kalender sendiri untuk menentukan hari-hari besar mereka. Dalam dunia akademis dan perdagangan, tampaknya yang dominan ialah kalender Masehi, yaitu dimulai dari peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

Umat Islam sesungguhnya memiliki kalender tersendiri meskipun mereka juga menggunakan kalender Masehi. Bertepatan pada Ahad, 2 Oktober 2016 ini jatuh 1 Muharam 1438 Hijriah, sebagai awal tahun baru yang diciptakan dunia Islam. Disebut kalender Hijriah karena momentumnya memang bukan diambil dari hari kelahiran Nabi Muhammad, melainkan peristiwa perjuangannya yang dipandang sangat strategis dan historis dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah. Secara historis peristiwa hijrah ini merupakan mata rantai yang sangat menentukan kemenangan dan perkembangan penyebaran Islam. Umat Islam begitu berat menghadapi tekanan musuh sewaktu di Mekah, lalu atas izin Allah berpindah dan melakukan konsolidasi di Madinah. Di kota ini umat Islam semakin besar jumlahnya, fondasi ajaran Islam semakin mapan, dan pada gilirannya Rasulullah dan umatnya kembali lagi ke Mekah dan menaklukkannya dengan cara damai.

Sebuah konvensi

Kota Mekah dan Madinah ialah dua kota yang menjadi basis dan saksi masa-masa awal pembentukan ajaran dan umat Islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah. Masa inilah yang selalu menjadi rujukan dan sumber inspirasi bagi pembinaan umat Islam setelahnya dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, setiap tiba tahun baru Hijriah, umat Islam sedunia selalu mengadakan upacara peringatan untuk mengenang kembali dan meneladani Rasulullah dan para sahabatnya bagaimana membangun komunitas muslim yang beradab, tercerahkan, yang berhasil gemilang mengganti kehidupan tidak beradab (jahiliah) menjadi sangat beradab (civilized).

Pada awalnya kalender itu memang sebuah konvensi sebagai tanda perjalanan waktu, dengan mandasarkan hitungan putaran bumi, matahari, dan bulan yang kemudian melahirkan tonggak-tonggak waktu sejak dari menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Akan tetapi, untuk selanjutnya kalender selalu muncul dalam kesadaran batin kita bagaikan sebuah rumah yang berjalan (moving house) yang di dalamnya menyimpan seribu satu kenangan dan catatan peristiwa yang berjalan menyertai kita. Bahkan, seluruh aktivitas kita pun selalu dibayangi dan dibatasi waktu.

Jam tangan dan kalender tak pernah luput dari kesadaran kita sehari-hari. Di mana pun kita memasuki dunia kerja, di situ akan selalu bertemu dengan informasi tanggal, hari, bulan, dan tahun.

Bahkan juga jam. Jam tangan yang awal mulanya diciptakan manusia untuk mengetahui informasi waktu, sekarang posisinya menjadi berbalik. Bagi kalangan eksekutif yang serbasibuk, bahkan selalu merasa dikejar-kejar jam dan waktu. Sampai-sampai muncul ungkapan, kalau bisa seminggu itu menjadi sepuluh hari karena merasa sempit waktu yang tersedia untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan.

Setiap orang memiliki jatah waktu 24 jam sehari semalam untuk melakukan aktivitas. Meski jatah waktunya sama, hasilnya ternyata berbeda-beda. Setiap orang juga berbeda dalam memaknai dan merasakan jalannya jarum jam dari menit ke menit. Ada yang merasa waktu berlalu dengan cepat, ada yang merasa lambat. Dengan demikian, rentang waktu ternyata bukan sekadar jumlah dan akumulasi hitungan menit, melainkan sangat berkaitan dengan suasana kejiwaan seseorang. Inilah yang saya maksudkan psikologi waktu.

Waktu metafisik

Ketika kita menghitung waktu secara empiris, dengan mendasarkan jumlah edar bumi mengelilingi matahari, di sana sesungguhnya ada kategori waktu yang bersifat metafisik (metaphysical time). Bahwa kita semua mengada mesti mengasumsikan dan meniscayakan berada dalam ruang dan waktu. Ketika kita berpikir tentang waktu, kita sudah berada dalam waktu. Makanya selalu muncul pertanyaan baku terhadap keberadaan seseorang; di mana dan kapan? Di mana menunjukkan ruang, kapan menunjukkan waktu. Bahkan, terhadap orang yang sudah meninggal pun berlaku pertanyaan; di mana dia sekarang? Berapa lama dia tinggal di alam kubur? Apakah langsung pindah ke surga atau neraka? Neraka itu ada batasnya atau tidak? Kalau kekal, apakah sama dengan kekalnya Tuhan? Demikianlah, ini termasuk kategori waktu metafisik. Sedangkan Tuhan yang mahaabsolut diyakini berada di luar ruang dan waktu yang digambarkan dan dialami manusia. Namun, di atas semuanya itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat fundamental. Apakah hidup ini sekadar kita jalani bagaikan sebuah mesin atau hewan tanpa makna? Apakah ketika usia semakin tua tak ubahnya mesin tua yang kekuatan dan harganya juga kian merosot dan diobral murah? Menarik direnungkan, ketika orang mengadakan peringatan hari ulang tahun, yang diucapkan bukannya panjang usianya, melainkan panjang umurnya. Dalam bahasa Arab, istilah umur masih seakar dengan kata makmur.

Artinya, orang dikatakan panjang umurnya jika hidupnya produktif, mendatangkan kemakmuran bagi lingkungannya. Orang yang panjang usianya, tapi defisit amal kebajikannya dan tidak produktif bagi lingkungannya, disebut bangkrut hidupnya. Lafii khusrin, kata Alquran. Sungguh hidup yang merugi.

Adalah iman dan banyaknya amal kebajikan yang membuat panjang umur seseorang. Bahkan, meski seseorang telah dikatakan mati, sesungguhnya umurnya tetap berjalan selama warisan kebajikannya masih dirasakan orang banyak, yang dalam Islam disebut amal jariah, atau amal kebaikan yang sustainable. Yang berkelanjutan melebihi usia seseorang. Oleh karenanya, sungguh tepat nasihat orang bijak; waktu itu ibarat pedang yang sangat tajam. Jika engkau tidak mampu menjinakkan dan menggunakannya dengan benar, engkau sendiri yang akan tertebas oleh pedang itu. Hidup adalah pilihan, dan pilihan menentukan nasib. Kalau hidup hanya memuja ketampanan fisik dan kekayaan harta, satu-satu akan menjauhi dan meninggalkan kita. Peringatan tahun baru Hijriah dalam konteks berbangsa adalah jangan pernah kita lengah memanfaatkan momentum, terlena oleh aspek prosedural dan seremonial dalam berdemokrasi, tetapi melupakan substansi. Bahwa kita semua wajib mengawal semua proses politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. []

MEDIA INDONESIA, 1 October 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta