Three Filters of Socrates

Oleh: Kang Komar

DI TENGAH menyeruaknya hoax dan ujaran kebencian terutama lewat medsos, saya jadi ingat nasihat Socrates, 470-399 SM saat bagaimana kiatnya untuk menepis berbagai berita dan ujaran kebencian yang hanya akan merusak kerukunan dan kedamaian sosial.

Kiat Socrates ini dikenal dengan sebutan ‘Tiga Filter Socrates’. Dia merumuskan filters ini setelah mengamati masyarakat Yunani kuno ketika mereka terlibat dalam persaingan perebutan pengaruh politik, mirip suasana batin masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi pilkada dan pemilu.

Nasihat Socrates, kalau ada orang datang membawa berita kepadamu, pertanyaan pertama yang mesti dimajukan adalah; Apakah berita yang kamu sampaikan itu sebuah kenyataan yang benar, ataukah fiktif alias bohong.

Mungkin sekali seseorang akan menjawab bahwa berita itu benar adanya. Bahkan disertai data dan fakta. Ini bukan mengada-ada.

Kalaupun yang disampaikan sebuah fakta, bukan hoax, Socrates masih bertanya: Andaikan aku tahu isi berita itu, kebaikan apa yang akan aku peroleh darinya? Jika tak ada kebaikan, sebaliknya, malah menambah beban dan bahkan menimbulkan keburukan pada diriku, maka tak perlu kita terima tawaran berita itu.

Tidak semua peristiwa dan fakta yang terjadi pada orang lain mesti kita ketahui karena adakalanya dengan mengetahui malah berakibat buruk dan merusak persahabatan. Berita itu bisa meracuni pikiran dan perasaan. Namun, bisa saja sebuah berita oleh yang menyampaikan dinilai benar dan baik.

Bagi Socrates, masih harus difilter lagi dengan pertanyaan: Berita itu akan membawa manfaat apa bagi saya dan masyarakat luas andaikan saya dan masyarakat mengetahui?

Jadi, untuk menjaga hati dan pikiran agar tidak kotor dan terkena penyakit dari informasi yang berseliweran, atau bahkan sekarang ini bagaikan virus wabah yang menyerang kita, maka kita disarankan selalu memasang tiga filter tadi.

Sebelum kita buka mata, telinga dan jendela pikiran, kita tanya dulu, apakah isi berita itu, faktual, apakah memberi nilai tambah berupa pengetahuan yang baik. Lebih dari itu, apakah isi berita itu mendatangkan manfaat?

Nasihat Socrates itu secara moral sangat sejalan dengan ajaran agama yang kita pelajari. Namun jika diperhadapkan dengan praktik dalam panggung politik dan bisnis yang terjadi, jangan-jangan sebaliknya. Kebohongan telah menjadi lahan bisnis baru.

Pada zaman Socrates, dulu kebohongan dan ujaran kebencian disampaikan secara lisan dan jangkauan penyebarannya sangat terbatas. Tetapi hari ini dengan medsos yang berbasis internet, kebohongan, ujaran kebencian, dan fitnah bisa disebarkan dengan sangat mudah, cepat, dan luas. Ironisnya, ada orang-orang yang senang dengan berita-berita sensasional, tidak difilter dan tidak peduli apakah berita itu benar, baik, dan berguna.

Yang demikian ini merebak karena dalam dirinya dikuasai oleh cara berpikir kalah-menang menurut emosi dan kepentingan dirinya, bukan melihat orang lain dalam tataran yang sama sebagai sesama manusia dan hamba Tuhan yang mesti dihargai martabatnya.

Dalam istilah Alquran, orang yang bergosip menjelekkan teman itu diibaratkan sebagai “pemakan bangkai” (Alhujurat 12). Ini tentu lebih pedas dari nasihat Socrates.

Mengapa ibarat makan bangkai? Karena orang yang kita bicarakan kejelekannya tidak hadir, tidak mendengar dan tidak bisa membela diri, tak ubahnya binatang mati, tak berdaya diperlakukan apapun. Lalu bangkai itu kita nikmati, kita asyik bergosip tentang orang itu. Padahal perbuatan itu sangat menjijikkan dan kita benci kalau saja kita sadari. Begitu kata Alquran.

Untuk mencintai nilai-nilai kejujuran dan kebaikan itu memerlukan latihan dan pembiasaan yang dimulai dan dikondisikan sejak masa kanak-kanak terutama dalam lingkungan keluarga. Ini mirip dengan cinta kebersihan.

Anak-anak yang dari kecil oleh orang tuanya ditanamkan cinta kebersihan dan keteraturan, maka dia akan merasa risih melihat lingkungan kotor. Dalam hal ini, kita bisa belajar Jepang. Sulit menemukan sampah di sudut-sudut kota dan di lorong jalan. Orang di Jepang terbiasa mengantongi bungkus roti atau kulit pisang, baru dibuang kalau ketemu tempat sampah.

Mestinya mata, telinga dan pikiran kita juga kita pagari sebagai filter, jangan sembarang berita masuk ke folder memori kita. Mesti selektif membaca berita yang sering menyergap handphone kita. Kalau terasa tidak sehat, segera kita delete. Jangan malah disebarkan. Begitu pun membuka saluran TV, ingat dengan tiga filter Socrates. Jika tidak baik dan tidak mendatangkan manfaat, tak usah ditonton..

Sekadar berbagi pengalaman, dengan berat hati saya keluar dari beberapa WA Group (WAG) karena isi dan berita yang beredar sering kali berisi ujaran kebencian yang merusak keharmonisan dalam persahabatan. Ini saya amati terjadi sejak Pilkada DKI dan masih berlangsung sampai hari ini. []

KORAN SINDO, 26 Januari 2018

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Mengaji lewat YouTube

Oleh: Komaruddin Hidayat

SAYA sangat berterima kasih kepada pencipta YouTube, semoga kreasinya jadi amal saleh di hadapan Tuhan. Mengapa? Karena YouTube sangat membantu dan mempermudah saya mengaji, mengikuti berbagai diskusi dan ceramah ilmiah yang sangat berkualitas secara gratis.

Kita tinggal pilih topik dan penceramah, dalam bidang apa pun, termasuk agama, termasuk agama Islam. Dengan mudah dan murah kita bisa berkenalan dengan para pemikir Indonesia dan dunia.

Di antara topik ceramah dan diskusi yang selalu saya ikuti adalah studi perbandingan agama dan filsafat yang disampaikan sarjana Barat atau sarjana muslim yang tinggal di Barat. Misalnya saja dialog antara pendeta Kristen dan intelektual muslim seputar pertanyaan: apakah Bibel dan Alquran firman Tuhan?

Masing-masing berusaha menyampaikan argumennya secara ilmiah tanpa nada marah dan mengafirkan yang lain. Mereka berdiskusi sesuai dengan topik dan substansi yang telah disepakati. Silakan pendengar mengambil simpulan sendiri.

Yang juga sangat mengasyikkan adalah mengikuti ceramah ilmuwan Barat yang masuk Islam. Cukup banyak YouTube menyajikan ini.

Sering kali saya dibuat terhenyak mendengarkan cara pandang mereka terhadap Islam, sebuah cara pandang baru dan lain yang tidak biasa saya dengarkan dalam ceramah di Indonesia. Misalnya saja pengalaman Jeffry Lang masuk Islam. Bagaimana perkenalan pertama dengan Alquran dan apa yang membuatnya terpikat pada kitab suci ini sehingga akhirnya masuk Islam.

Ada juga sarjana ahli sejarah Bibel yang akhirnya memeluk Islam setelah melakukan kajian kritis-kompararif dua kitab suci tersebut. Dan masih banyak YouTube menyajikan kisah orang Barat berkonversi ke Islam.

Namun menarik juga mengikuti paparan kritis terhadap Islam. Dalam YouTube, Islam kerap dikritik dengan berbagai argumen rasional, hal yang tidak terbayang bisa terjadi di Indonesia.

Jika hal ini terjadi di Indonesia, pasti pelakunya segera divonis sebagai menghina Islam dan sejenisnya. Jadi berbagai pikiran keislaman yang di sini sudah dianggap liberal dan itu disampaikan oleh orang Islam sendiri sesungguhnya pemikiran itu masih sangat jauh dari liberal jika kita sering mengikuti perdebatan agama di YouTube. Semua itu merupakan kuliah gratis bagi mereka yang ingin berdakwah di kalangan masyarakat intelektual yang terbiasa berpikir kritis dan liberal.

Kuliah agama di YouTube sangat membantu mereka yang tidak sempat membaca buku dan tidak sempat datang ke forum pengajian. Dengan modal handphone dan langganan wifi, kita bisa belajar di mana saja, kapan saja, daripada bergosip di medsos.

Beragam pendakwah dan ulama di Indonesia juga bisa diikuti, sejak dari penceramah yang lucu sampai yang nadanya keras. Berbagai ulama dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda menambah wawasan keislaman kita.

Janganlah terikat hanya pada satu ustaz dan satu kelompok pengajian. Dengarkan semuanya untuk memperluas wawasan agar kita tidak berpandangan sempit. Islam itu luas, jangan dipersempit. Sepandai-pandai seorang ulama, dia tetap dibatasi oleh bidang kajiannya yang juga terbatas. []

KORAN SINDO, 19 Januari 2018

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Agama dan Tradisi

Oleh: Komaruddin Hidayat

AGAMA itu diyakini datang dari “langit”, sedangkan tradisi tumbuh dari “bumi”. Tapi setiap agama yang hadir di bumi pasti akan bertemu dan menyatu dengan tradisi lokal.

Bahkan sebuah agama pada urutannya juga akan melahirkan tradisi baru, yaitu tradisi keagamaan. Oleh karena itu agama dan tradisi selalu menyatu, bagaikan menyatunya roh dan tubuh. Kita semua begitu terlahir langsung diasuh dan dibesarkan oleh tradisi.

Yang paling mencolok tentu dalam hal bahasa, makanan, dan agama. Anak kecil akan berbahasa mengikuti bahasa lingkungan keluarga dan sosialnya.

Begitu pun selera dan cara makan serta jenis makanan yang disantap sangat dipengaruhi tradisi keluarganya. Juga dalam aspek keberagamaan, seorang anak akan mengikuti agama orang tuanya meskipun setelah dewasa bisa saja seseorang menyatakan berganti keyakinan agamanya.

Pola pikir seseorang pun sangat dipengaruhi lingkungan tradisi yang membesarkannya. Dengan demikian, secara ontologis-teologis, agama dan tradisi bisa dibedakan, tetapi pada praktiknya agama dan tradisi tak mungkin dipisahkan atau bahkan dibedakan.

Paham dan praktik agama yang sampai pada kita, apa pun agamanya, sudah melalui berbagai saluran tradisi dan tafsiran sehingga bisa jadi di sana terjadi reduksi dan deviasi dari ajaran dasarnya meskipun kadarnya berbeda-beda. Kita melihat dalam sejarah, agama tumbuh menjadi besar setelah keluar dari tempat kelahirannya, bertemu dengan budaya baru di luarnya.

Tafsiran dan pengalaman umat beragama yang sedemikian banyak dan beragam tanpa disadari juga telah bercampur baur, saling memperkaya yang lain. Ini bagaikan model pakaian, sudah tumpang tindih dan bercampur modelnya meskipun elemen dasarnya tetap.

Kadang perjumpaan agama juga berbenturan. Secara komunal umat beragama punya rumah dan basis yang jelas, tetapi pada ranah kehidupan sosial terjadi perjumpaan lintas umat. Terlebih lagi dengan situasi masyarakat dunia yang semakin plural sebagaimana juga Indonesia, keragaman agama dan tradisi keagamaan juga mudah kita jumpai di mana-mana.

Beruntunglah dasar negara kita Pancasila sehingga kerja sama antarumat yang berbeda sudah biasa dan berlangsung lama, bahkan difasilitasi negara. Di era demokrasi, persilangan antar-pemikiran dan tradisi agama semakin leluasa. Dengan demikian, pada ranah budaya, berbagai unsur agama bisa saja bertemu dan berkembang bersamaan tanpa merusak keyakinan agama masing-masing.

Panggung budaya itu bagaikan pasar atau mal yang mempertemukan dan menampung berbagai macam orang dan dagangan. Mempertemukan beragam penjual dan pembeli. Salah satu yang ditawarkan adalah agama yang telah dikemas atau dibungkus sedemikian rupa agar menarik bagi calon pembelinya.

Agama-agama besar yang tumbuh di Nusantara ini semuanya adalah pendatang. Agama datang ke sini dengan kendaraan bermacam-macam. Ada yang datang bersama pedagang, ada pula yang beriringan dengan imperialis. Bersama jalannya waktu, agama yang asalnya dari luar telah tumbuh menyatu dengan budaya dan tradisi lokal.

Dengan demikian, pemahaman, praktik, dan kemasan agama yang ada sekarang ini semakin kental dan kaya nuansa budaya lokalnya. Misalnya saja istilah surga yang asalnya dari tradisi Hindu, orang Islam pun menggunakan kata surga dan neraka yang disesuaikan dengan konsep Islam.

Berbagai tradisi dan agama bercampur di ranah Nusantara. Yang paling khas dan tidak bercampur adalah tata cara ibadahnya. Tapi, selain ibadah, sesungguhnya pergaulan lintas umat beragama tak mungkin dibatasi.

Sekali lagi, ibarat pasar, tak ada pembedaan latar belakang etnik dan agama.. Yang penting terjaga suasana damai dan saling menguntungkan bagi semua pihak. Masing-masing silakan menawarkan dagangan atau ajarannya dengan cara yang menarik dan saling menghargai, tidak boleh main paksa dan mengancam yang lain. []

KORAN SINDO, 12 Januari 2018

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Islam Nusantara

 

Oleh: Komaruddin Hidayat

PERINGATAN malam Tahun Baru di Indonesia mungkin paling unik karena tidak ditemukan di negara lain. Apa itu?

Di berbagai masjid diadakan zikir dan ceramah keagamaan Islam. Padahal peralihan tahun baru Masehi itu merupakan tradisi Barat yang Kristiani, masih menjadi bagian dari perayaan Natal atau milad Yesus.

Tentu oleh umat Islam diyakini milad Nabi Isa, meskipun menyangkut tanggal menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan hal ini juga disadari oleh kalangan gereja. Tetapi bagi mereka yang penting adalah pemaknaan iman, bukan lagi perdebatan kalender.

Lalu, apa alasan umat Islam ikut merayakan Tahun Baru, namun diisi dengan zikir dan ceramah agama, padahal tahun baru Masehi merupakan tradisi Kristiani? Ada sekelompok ulama yang menganggap bidah menyelenggarakan peringatan tahun baru itu.

Jangankan pergantian tahun Masehi, milad atau maulud Nabi Muhammad saja tidak disetujui sebagian ulama itu, dengan alasan Rasulullah tidak pernah memperingati hari kelahirannya. Makanya, mereka ini juga menganggap bidah terhadap perayaan tahun kelahiran atau ulang tahun, ditambah lagi dengan meniup lilin. Biasanya mereka menyebut sebuah hadis, “Siapa yang meniru-niru perilaku satu kaum (kafir) maka akan masuk pada golongan mereka.”

Tetapi, ada juga yang melihatnya dari sisi budaya dan pendidikan. Pada malam Tahun Baru, daripada diisi hura-hura yang tidak bermutu, bahkan cenderung mendekatkan pada tindakan maksiat, bukankah lebih baik diisi zikir dan pengajian di masjid? Adapun pergantian tahun itu adalah produk sejarah. Produk budaya.

Semasa Nabi Isa ataupun Yesus hidup juga tak dikenal nyanyian gereja dan perayaan Tahun Baru seperti sekarang ini. Itu semua adalah ijtihad budaya, bukan soal keimanan. Jadi, selama dari sisi akidah dan iman tidak mengganggu, perayaan tahun baru Masehi tidak apa-apa.

Bahkan yang namanya tahun baru Hijriah ketika masa hidup Rasulullah Muhammad juga belum dikenal. Nabi Muhammad sendiri dikenal hari kelahirannya dengan dikaitkan dengan kedatangan tentara gajah di bawah Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah.

Kreasi atau bidah budaya keagamaan itu adalah khas kekayaan Islam Nusantara. Tentu saja di berbagai dunia Islam lain juga terjadi bidah budaya.

Tetapi mungkin Indonesia paling kaya ragamnya, mengingat masyarakat Nusantara ini sangat majemuk, plural, dan sangat kental diwarnai oleh tradisi Hindu-Budha sebelum Islam datang. Misalnya saja, di daerah pesisir utara Jawa Tengah umat Islam sudah terbiasa menyembelih kerbau sebagai hewan kurban, bukannya sapi.. Dipilih kerbau agar tidak melukai perasaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Ini suatu sikap toleran yang sangat bijak, tanpa menghilangkan esensi dan fungsi kurban.

Misalnya lagi, pemaknaan baru terhadap tumpengan yang semula sebagai sesajen. Diubah maknanya sebagai rasa syukur kepada Allah, makanannya lalu dimakan ramai-ramai dan bangunan gunungan tumpeng serta makanan di kaki gunungan diberi makna baru. Orang yang beriman, yang tertuju kepada Allah, hendaknya senantiasa bersyukur dan senang berbagi kepada orang-orang di sekitar. Makanya, di kaki gunungan tumpeng itu terdapat berbagai ragam makanan untuk dinikmati ramai-ramai.

Perilaku orang beriman itu senantiasa melimpah, tidak mengancam orang-orang di sekitarnya, melainkan membawa rahmat dan damai. Dakwah seperti itulah yang dulu disampaikan Wali Sanga sehingga dalam sejarah Islam, masuknya Islam ke Nusantara ini berlangsung damai, bukan dengan penaklukan senjata.

Jadi, ajaran dasar Islam itu sama. Isi rukun Islam dan rukun Iman itu sama. Tetapi penafsiran dan kontekstualisasi dalam ranah sosial dan budaya bisa berbeda-beda.

Sejarah juga mencatat perkembangan sains dalam Islam pernah berkembang pesat ketika Islam berbaur dan tertantang oleh budaya baru di luar tanah kelahirannya, Mekkah dan Madinah. Ilmu fikih, filsafat, dan tasawuf pun begitu juga halnya.

Dalam hal budaya dan sains, inovasi dan kreasi atau bidah itu justru suatu kebutuhan. Tentang ekspresi keislaman Nusantara ini bisa dikembangkan lagi secara panjang lebar. []

KORAN SINDO, 5 Januari 2018

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Politik Identitas

 

Oleh: Komaruddin Hidayat

MEMASUKI tahun 2018, suhu politik akan meningkat dari bulan ke bulan, karena tak lama lagi akan dilaksanakan pilkada serentak pada 27 Juni 2018 yang meliputi 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Sebuah hajatan nasional yang bisa dilihat dan dianalisis dari berbagai dimensi. Salah satunya adalah kemungkinan terjadinya politik identitas untuk menarik simpati dan menjaring massa.

Sesungguhnya tak ada yang salah dengan identitas primordial seperti suku ataupun identitas keagamaan. Keduanya merupakan disain Tuhan. Di muka bumi ini, terdapat beragam suku dan beragam agama tak lepas dari kehendak Tuhan.

Dan, sungguh tidak menarik andaikan manusia penduduk bumi ini seragam warna kulitnya, bahasanya, wajahnya, juga tradisi dan agamanya. Tak ubahnya nanti bagaikan miliaran domba yang seragam dan mendominasi planet bumi.

Karena keragaman itu ciptaan Tuhan, kita tidak dibenarkan mengutuk seseorang semata karena beda etnis dan agama. Masyarakat Nusantara yang sedemikian majemuk ini sangat sadar akan perbedaan sehingga motonya pun berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.

Kita saling mengakui, menerima, dan merajut perbedaan identitas suku dan agama, namun sepakat pada satu tujuan yaitu membangun NKRI demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang merdeka, rukun, damai, cerdas, dan sejahtera yang didirikan di atas prinsip keadilan. Dengan demikian, tidak mungkin kita menghilangkan identitas suku dan keagamaan.

Menjadi persoalan ketika isu dan sentimen etnis dan agama dimanipulasi dan dipolitisasi untuk menjaring massa demi memenangkan kontestasi politik, sehingga menggeser prinsip fairness, kompetensi, dan integritas calon. Memilih pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan kesamaan etnis dan agama, jika kualitas calon diabaikan. Akibatnya, yang akan rugi adalah rakyat sebagai pemilih dan juga martabat agama akan ternodai, bahkan dikhianati.

Sekali lagi, orang mencari kesamaan identitas dalam berkawan, berbisnis, dan berpolitik, itu sangat wajar dan sah. Tetapi ketika yang terjadi adalah manipulasi dan politisasi, sama saja dengan membohongi rakyat dan merendahkan martabat agama.

Mengapa itu terjadi? Mungkin seorang calon tidak cukup percaya diri dengan modal integritas, popularitas, dan kompetensinya, sehingga mesti mencari cara lain untuk membeli suara rakyat.

Yang mudah adalah dengan membeli suara dengan uang dan menggoreng isu keagamaan. Ini mudah dilakukan karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang rendah. Kalau ini terjadi, dan menang sudah terjadi, maka ongkos politik sangat mahal, jago yang menang kualitasnya mengecewakan, agama dinodai, rakyat dibodohi, masyarakat tersegregasi, pembangunan budaya demokrasi yang sehat menjadi mundur.

Oleh karena itu, jajaran elite parpol punya tanggung jawab politik dan moral yang sangat besar dan mulia untuk memperkecil kemungkinan terjadinya politisasi identitas yang akan merusak kehidupan politik dan berbangsa. Kebangkitan dan semarak agama seharusnya membangkitkan optimisme bagi kemajuan dan persatuan bangsa, karena misi agama adalah memberikan pencerahan moral masyarakat serta penguatan karakter.

Agama itu rahmat, anugerah, kegembiraan, bukan ancaman yang menakutkan. Begitu pun politik, pada dasarnya politik adalah ilmu, seni, dan aktivitas sangat mulia untuk meraih kekuasaan guna melindungi dan menyejahterakan rakyat.

Jadi, jika dua entitas yang pada dasarnya baik, yaitu agama bertemu politik, mestinya terjadi akselerasi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa, bukannya pertengkaran, saling fitnah dan saling jegal tanpa panduan moral hanya semata demi memenuhi ambisi dan kepentingan kelompok kepentingan dan para pemodal dalam hajatan pilkada. []

KORAN SINDO, 29 Desember 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Ragam Ekspresi Beragama

BANYAK ragam bagaimana seseorang mengekspresikan atau mengamalkan keberagamaannya. Ada dimensi agama yang sifatnya sangat personal, tidak terlihat (esoteris) karena berada pada wilayah hati yang orang lain tidak mengetahuinya, tetapi ada pula ekspresi keberagamaan yang terlihat orang lain (eksoteris).

Dalam Islam, semua perilaku kesalehan yang mendekatkan diri kepada Tuhan itu masuk dalam kategori takwa, ibarat jalan besar (syari’) menuju Tuhan dan seseorang memiliki banyak jalan dan lorong kecil (sabil) yang menghubungkannya ke jalan besar.

Untuk menjadi pribadi yang sempurna dan utuh (kaffah) yang mampu melaksanakan semua perintah Tuhan rasanya tidak mungkin mengingat tiap orang memiliki keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Yang bisa diraih adalah berusaha berjalan di atas jalan Tuhan sesuai dengan kapasitas dan pilihannya. Sementara di sana terdapat banyak jalan menuju Tuhan sehingga ekspresi keberagamaan masyarakat juga beragam.

Bagi umat Islam, terdapat ritual keberagamaan yang seragam seperti salat menghadapkan muka ke arah Kakbah meskipun muka hatinya tertuju hanya kepada Allah Yang Esa. Begitu pun umat Islam sepakat tentang kerasulan Muhammad dan kitab suci Alquran. Pendeknya doktrin rukun Islam dan rukun Iman umat Islam seragam.

Tapi dalam melaksanakan perintah Tuhan, terutama dalam konteks ibadah sosial, pilihan dan manifestasinya sangat beragam mengingat yang namanya amal saleh itu bermacam-macam perintah dan pilihannya. Tidak hanya ibadah sosial, ritual keagamaan di luar yang wajib, yaitu sunah, juga banyak sekali peluang dan pilihannya.

Ibadah salat sunah, misalnya, belasan macam jumlahnya sehingga jika seseorang ingin mengumpulkan pahala atau keutamaan salat sunah tak akan ada habis-habisnya bisa dilakukan. Begitu juga keutamaan membaca Alquran, setiap saat terbuka peluangnya.

Ibadah sosial juga banyak ragamnya, sejak dari memberi senyum, mendoakan, menolong, dan bersedekah kesemuanya itu ibadah sosial di jalan Tuhan yang sangat dicintai Allah. Bahkan keluar rumah mencari ilmu atau bekerja menjemput rezeki juga ibadah, sebuah kesalehan sosial.

Mereka yang aktif di dunia politik selagi niat, tujuan, dan cara yang ditempuhnya baik dan benar dengan mengikuti rambu-rambu agama, itu juga ekspresi kesalehan dalam beragama. Tak kalah saleh dan mulianya juga para guru yang mendidik anak-anak agar tumbuh jadi anak pintar dan berbaik budi. Pahala yang dijanjikan Allah untuknya juga melimpah.

Jadi, sekali lagi, kesalehan beragama itu banyak jalan dan beragam ekspresinya. Makanya kita tidak dibenarkan merasa diri paling takwa, paling benar, paling saleh, lalu menyalahkan dan meremehkan keberagamaan orang lain. Setiap orang memiliki peluang dan kesempatan serta komitmen yang berbeda-beda. Setiap orang juga tak ada yang bisa membebaskan diri dari berbuat salah dan dosa.

Makanya sangat logis dan menjadi kabar gembira bahwa Tuhan itu maha pengampun. Kalau saja kita ingin barter amal saleh dengan surga, pasti bobot amal kebaikan kita jauh tidak sebanding. Tidak cukup untuk membeli surga. Hanya karena kasih dan ampunan Allah saja seseorang itu bisa masuk surga karena Allah yang memiliki dan punya hak prerogatif untuk memasukkan hamba-Nya ke surga.

Keragaman berpikir dan berekspresi beragama itu termanifestasikan, misalnya, dengan ada orang yang menonjol dalam ibadah sosial, tetapi miskin dalam ibadah ritual. Atau sebaliknya. Ada orang yang dermawan dengan hartanya. Ada lagi yang bisanya bersedekah dengan tenaga atau ilmunya.

Mungkin saja ada yang beramal saleh dengan memanjatkan doa untuk kebaikan teman dan tetangganya. Mungkin juga mereka yang berdemo di jalan itu niatnya juga ibadah sosial.

Jadi, pada level paling dalam, esoteris, kita tidak tahu bobot niat dan keikhlasan seseorang baik ketika melaksanakan ritual maupun aktivitas sosial. Hanya Tuhan yang tahu.

Oleh karenanya, tugas negara dan kewajiban umat beragama adalah menjaga kedamaian dan etika sosial. Menjaga ketertiban ruang publik. Silakan orang mengekspresikan keberagamaannya selama tidak mengganggu hak-hak orang lain dan ketertiban serta kedamaian publik. []

KORAN SINDO, 15 Desember 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Kemenangan Ide dan Kemenangan Kelompok

AKHIR-akhir ini saya membaca beberapa artikel dan juga mengikuti diskusi seputar persoalan: apakah agama cukup efektif membentuk moral masyarakat? Secara normatif-teoritis berbagai argumen dikemukakan bahwa agama diturunkan untuk memperbaiki moral masyarakat. Dalam kitab suci juga bertaburan statement bahwa agama mengajarkan kebajikan sosial dan siapa yang melanggarnya akan dijatuhi hukuman di akhirat nanti.

Kemudian berbagai penjelasan deduktif-normatif agama itu diperhadapkan pada realitas sosial, banyak negara dan masyarakat yang tidak peduli agama, tapi etika sosialnya lebih baik. Tingkat korupsi rendah. Mereka bahkan hidup damai, saling menghargai hak-hak orang lain. Negara terasa hadir melindungi warganya jika memperoleh ancaman dari siapa pun orangnya.

Sementara di berbagai negara dan masyarakat yang meneriakkan slogan dan ajaran agama, masyarakatnya ribut terus, bahkan saling mengancam. Tingkat korupsi tinggi. Demikian juga pelanggaran atas hak-hak asasi seseorang juga tinggi.

Jadi, masing-masing pihak memiliki sudut pandang dan argumen berbeda mengenai relevansi dan urgensi agama dalam pembentukan moral masyarakat. Ada sekelompok orang yang lebih mementingkan kehidupan akhirat dan tidak serius mengurus dunia.

Sebaliknya terdapat sekelompok orang lebih peduli membangun kehidupan dunia agar kehidupan dunia enak, aman, dan indah ditempati, tidak begitu peduli soal akhirat.

Ada lagi masyarakat dan negara yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi. Adapun masalah sosial kenegaraan diatur dengan hukum positif. Secara retorik tentu ada yang ingin membuat keseimbangan dunia dan akhirat.

Namun, jika ditimbang secara empiris, beberapa masyarakat sekuler memang lebih fokus mengatur dan membangun dunia dengan berbagai teknologi dan instrumen hukum positif sehingga siapa yang melanggar sanksinya tidak perlu menunggu di akhirat. Langsung dijatuhi hukum di dunia, seperti Pemerintah China yang tak segan-segan menjatuhkan hukum mati terhadap para koruptor.

Secara psikologis, mungkin sanksi hukum di depan mata lebih menakutkan ketimbang ancaman neraka yang pelaksanaannya setelah mati dan secara empiris siksa neraka itu merupakan keyakinan teologis yang sulit dibuktikan di dunia saat ini.

Persaingan dan perdebatan seputar peran agama bagi pembentukan moral masyarakat kadang muncul dalam format kontestasi antara kemenangan ide dan kemenangan kelompok. Mengingat nilai dan pesan agama itu universal, maka asumsinya siapa pun yang mengapresiasi dan menerapkan nilai-nilai agama akan memperoleh kebaikan dalam kehidupan sosialnya, sekalipun mereka tidak menyatakan beragama dan tidak bertuhan.

Sebaliknya, sekalipun sebuah masyarakat mengaku beragama dan bertuhan, jika tidak menerapkan nilai-nilai agama dalam konteks moral-sosial, maka mereka semakin jauh dari spirit agama. Jadi, perlu dibedakan antara kemenangan ide dan kemenangan kelompok.

Ada kelompok yang mengaku dan menggunakan slogan serta simbol agama dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya, misalnya dalam kontestasi politik dan ekonomi, tetapi meninggalkan nilai-nilai serta etika agama dalam perilaku sosial dan politiknya.

Sementara masyarakat yang diposisikan sekuler, bahkan secara teologis kadang dicap kafir, tetapi moral sosialnya justru lebih dekat dengan pesan-pesan agama. Etika sosial lebih baik. Pemberantasan korupsi lebih berhasil. Perhatian pada fakir miskin lebih baik. Penghargaan pada ilmu pengetahuan lebih tinggi.

Akhirul kalam, mengingat agama diturunkan tidak saja menjanjikan keselamatan di akhirat, melainkan juga membangun peradaban di muka bumi (fiddunya khasanah), maka sebuah agama akan mudah tersebar dan diterima masyarakat selama ajarannya juga telah terbukti atau disertai bukti, prestasi dalam membangun peradaban di muka bumi. Misalnya agama Islam yang sering dibanggakan dan dianggap abad keemasan adalah ditandai dengan prestasinya di bidang ilmu pengetahuan mengalahkan prestasi komunitas agama lain.

Aspek ritual dan teologi, pijakannya sangat kuat dan berdirinya kokoh sampai hari ini. Tetapi dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik, justru gambarannya suram dan seram. Maka ada yang kemudian berpendapat, kemenangan Islam itu mestinya ditekankan pada kemenangan ide, nilai, dan tidak selalu berarti kemenangan kelompok. []

KORAN SINDO, 8 Desember 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Muhammad, sang Pencerah Zaman

BAGI umat Islam, Nabi Muhammad SAW tidak saja diposisikan sebagai nabi pamungkas seluruh nabi sebelumnya, tetapi juga sebagai sosok historis yang memberikan andil besar dalam membangun peradaban dunia. Beliau ialah pencerah zaman. Ajaran Islam yang diwariskan dan rekam jejak serta model kepemimpinannya telah menarik minat para sejarawan dunia, tidak terbatas pada intelektual muslim.

Salah satu ukuran kebesaran seorang tokoh sejarah bisa dilihat dari warisan ajarannya yang dianut dan dijaga oleh miliaran penduduk bumi. Kemudian, itu masih bertahan serta berkembang terus tanpa terputus mata rantai kesejarahannya dan autentisitas dokumen kitab sucinya.

Dalam perjalanan sejarahnya semua agama, termasuk Islam, mesti berinteraksi dengan budaya setempat sehingga pada urutannya agama dan budaya tidak mungkin dipisahkan, sekalipun asal-usulnya bisa dibedakan. Ajaran agama diyakini berasal dari Allah yang diwahyukan melalui Rasul-Nya, sedangkan budaya ialah hasil kreasi budi daya manusia, yang keduanya, saling mendukung dan memerlukan.

Agama tidak akan berkembang tanpa instrumen budaya. Agama punya klaim kebenaran universal, sedangkan ekspresi budaya selalu bersifat lokal-kontekstual sehingga kita mengenal konsep kebenaran normative-universal dan kebajikan partikular (local wisdom)

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penutup para rasul Allah. Namun, jika sosok Muhammad diposisikan sebagai tokoh sejarah pencerah zaman, akan terlihat bahwa setelah Muhammad memang tak ada lagi rasul Allah yang membawa ajaran baru.

Di berbagai belahan bumi, pernah muncul tokoh-tokoh pencerah zaman yang membawa pesan Allah yang warisannya tetap bertahan dan tumbuh meskipun kita tidak tahu sejarah hidup pembawanya. Asumsi ini sangat sejalan dengan Alquran yang menyatakan bahwa Allah pernah mengirim rasul-rasul-Nya ke muka bumi, sebagian diceritakan dalam Alquran dan sebagian lagi tidak diceritakan (Al Mukmin 40 : 78).

Berbagai warisan ajaran rasul Allah, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, merupakan al-hikmah al-khalidah atau perennial wisdoms yang menjadi inspirasi tumbuhnya nilai-nilai dan tradisi kebaikan (al-ma’ruf) yang berkembang di berbagai komunitas di muka bumi, apa pun suku dan agamanya. Kecenderungan masyarakat memilih kebaikan, yang dalam bahasa Alquran disebut al-khair dan al-ma’ruf juga didorong fitrah yang ditanamkan Allah kepada setiap anak Adam yang pada dasarnya selalu menyenangi kebaikan, kebenaran, kedamaian, dan keindahan.

Jadi, menurut ajaran Rasulullah Muhammad, setiap pribadi pada dasarnya baik dan mengarah pada kebaikan, apa pun etnik dan keyakinannya. Kata khair (kebaikan) yang puluhan kali disebutkan dalam Alquran seakar dengan kata khara (memilih) dan ikhtiar yang artinya sebuah tindakan akan memiliki nilai moral kebaikan jika dilakukan atas dasar pertimbangan secara sadar dan pilihan bebas. Bukan produk ancaman dan keterpaksaan.

Oleh karena itu, Allah berfirman, tak ada kebaikan dan kesalehan dalam beragama jika dilakukan karena terpaksa (Albaqarah 2: 256). Jika kita mau jujur dan berempati pada tradisi-tradisi masyarakat mana pun di muka bumi ini akan ditemukan spirit dan dorongan untuk hidup secara baik, benar, damai, dan indah.

Rasulullah Muhammad sendiri menyatakan bahwa kehadirannya untuk menjaga, meneruskan, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para rasul Allah yang sebelumnya. Dengan kata lain, ajaran Islam bersikap inklusif, menghargai ajar-an para nabi sebelumnya dan berbagai hikmah dari mana pun datangnya. Oleh karena itu, dalam studi Islam dibedakan antara kajian Islam tekstual-normatif dan Islam historis-sosiologis. Yang kedua ini ialah Islam yang dipahami, ditafsirkan, dan diekspresikan para pemeluknya sehingga melahirkan fenomena Islam Arab, Islam Nusantara, dan Islam di berbagai wilayah lain.

Dalam konteks ini ekspresi keislaman di Indonesia jauh lebih kaya ketimbang di Timur Tengah karena pemahaman dan perkembangan Islam tak bisa dipisahkan dari pengaruh budaya pemeluknya. Makanya, kita perlu membedakan antara Islamisme dan Arabisme, sebagaimana juga kita mesti membedakan antara Islam doktrinal dan Islam kultural. Antara budaya dan wahyu. []

MEDIA INDONESIA, 30 November 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

Ajakan ke Jalan Tuhan

DAKWAH artinya mengajak atau mengundang. Yaitu mengajak ke jalan Tuhan. Ada dua kata kunci yang mesti diperhatikan, yaitu kata mengajak dan jalan Tuhan.

Layaknya undangan ke pesta perkawinan, maka pihak yang mengajak atau mengundang mesti bersikap simpatik, ramah, menghargai pihak yang diundang, dengan bahasa jelas dan enak didengar. Bukan teriak-teriak dengan paksaan.

Kita semua memiliki pengalaman dan perasaan, jika ajakan dan undangan itu bersikap simpatik, kita pun akan membalasnya dengan simpatik pula. Tetapi, jika seseorang menyeru, memanggil, mengundang, dan mengajak dengan bahasa dan cara kasar, bahkan dengan nada marah dan mengancam, pasti kita akan tersinggung serta cenderung menolaknya.

Demikian halnya dengan berbagai dakwah keagamaan yang kita saksikan dalam masyarakat dan media sosial. Masih ada dakwah yang disampaikan dengan nada marah-marah, menghakimi, bahkan marah jika yang diajak tidak mau. Bahkan, ada yang mengancam agar mau diajak.
Tentu dakwah dengan cara mengancam dan menakutkan ini bertolak belakang dengan kata dan konsep dakwah itu sendiri. Sekali lagi, dakwah artinya memanggil, menyeru, dan mengundang. Bukan memarahi dan mengancam.

Dakwah bisa juga dianalogikan dengan orang berjualan menawarkan barang dagangannya. Sebaik apa pun barang yang dimiliki, jika cara menawarkan barangnya tidak cerdas dan menarik, pasti orang enggan membelinya.

Metode ini secara eksplisit disebutkan dalam Alquran (Nahl 16: 125), Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dengan nasihat yang baik, dan kalaupun mereka mengajak berdebat, lakukanlah dengan cara yang baik.

Kata kunci kedua adalah jalan Tuhan. Dalam bahasa Arab terdapat banyak kata yang bermakna jalan. Artinya, banyak jalan menuju Tuhan. Dalam penggalan terjemahan ayat Alquran di atas, ajaklah mereka ke jalan Tuhan. Jadi, penekanannya di sini adalah agar seseorang masuk dan berjalan di jalan Tuhan.

Adapun tingkat kekuatan dalam berjalan atau berlari, tiap orang memiliki kapasitas berbeda-beda. Kalaupun mereka menggunakan alat bantu berupa sepeda, motor, atau mobil, kapasitas, kekuatan, dan kecepatannya berbeda-beda pula.

Bunyi lahiriah teks tentang berdakwah itu yang pertama seseorang mau bergabung di jalan Tuhan, tapi mesti disadari bahwa capaian dan prestasi seseorang dalam perjuangan mendekati Tuhan itu jangan dipaksakan dan diseragamkan. Lebih dari itu, di sana banyak jalan menuju Tuhan. Jadi, siapa pun yang berdakwah janganlah dengan bahasa marah-marah serta mudah menghakimi dan mengafirkan orang lain jika berbeda.

Dalam berbagai kesempatan, saya sering berjumpa dan berdialog dengan teman-teman seputar pemahaman dan praktik keberagamaan. Ada pengusaha yang salatnya minus, tidak disiplin salat lima kali sehari. Namun, begitu sedekah, zakat dan amal sosialnya banyak.

Ada juga sebaliknya, ibadahnya rajin tetapi perilaku sosialnya kurang bagus. Ada orang yang miskin ilmu dan miskin harta, tapi rajin dan pemurah untuk menolong tetangga jika memperoleh kesulitan. Dia membantu dengan tenaganya.

Hal-hal demikian ini tentu kita bisa mengkritiknya, namun kita tidak bisa memaksa mengikuti apa yang kita maui dan kita juga tidak tahu bobot ketakwaannya di hadapan Tuhan. Apalagi aspek keimanannya yang sangat pribadi, kita tidak tahu.

Mengingat negara dan ruang publik milik rakyat dengan beragam agama, bahasa, dan budaya, maka siapa pun berdakwah hendaknya jangan melakukan ceramah dan provokasi yang merusak ruang publik serta memperlemah negara. Keberadaan negara dan ruang publik itu mesti dijaga bersama-sama, sebagaimana masyarakat menjaga keamanan pasar, tempat masyarakat melakukan transaksi jual-beli, apa pun latar belakang etnik dan agamanya.

Selain itu, juga sekolah-sekolah negeri, mesti dijaga karakter inklusifnya karena dibiayai uang rakyat. Kecuali lembaga pendidikan yang sejak awal sudah bersifat eksklusif keagamaan seperti madrasah negeri.

Mendakwahkan agama ibarat menawarkan emas. Sekalipun kualitas bagus, asli, mestinya ditawarkan dengan cara elegan agar tidak merendahkan kualitas barang yang ditawarkan. Kebenaran sebuah agama mampu membela dirinya sendiri. Jangan malah direndahkan oleh para agen penjualnya. []

KORAN SINDO, 24 November 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

You Are What You Read

AKHIR-akhir ini handphone (HP) tidak lagi sekadar tool atau alat komunikasi jarak jauh, tetapi telah naik kelas menjadi bagian integral dan perpanjangan dari kepribadian seseorang atau extended self. Telepon genggam telah mengganti tradisi ngobrol dan tatap muka yang telah lama mengakar di masyarakat tradisional, lalu berubah menjadi ngobrol di dunia maya dan gambar.

Bersamaan dengan tren masyarakat yang semakin individualistis, baik karena pengaruh kompetisi berebut sumber ekonomi maupun kemacetan lalu lintas, kebutuhan orang berkomunikasi lalu difasilitasi oleh telepon seluler yang tak pernah lepas ke mana pun dan di mana pun seseorang berada. Fenomena ini sangat mudah diamati di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketika seseorang kehilangan HP-nya seakan kehilangan sebagian dirinya.

Komunikasi melalui WhatsApp dan Twitter menggabungkan budaya ngobrol dan membaca, chatting and writing, serta menghilangkan hierarki. Perasaan dan pikiran apa pun dengan leluasa dituliskan layaknya peristiwa ngobrol, tapi dalam format tulisan.

Jika seseorang menulis dalam media sosial semacam surat kabar atau majalah, di sana terdapat editor yang menyeleksi dan mengoreksi sebelum disebarkan. Ada redaktur yang bertanggung, jelas orang dan alamatnya.

Namun dalam media online, lalu lintas berlangsung bebas hampir-hampir tanpa rambu-rambu dan tanpa hierarki. Semua berkedudukan sama. Kita juga sulit mengecek dan tidak mudah percaya, apakah nama pengirim dan penulis itu benar-benar autentik orangnya ataukah nama samaran. Terlebih, jika tulisan itu berupa copy paste (copas).

Oleh karenanya, ketika informasi dan teks itu bagaikan hujan lebat yang masuk dan mengguyur pekarangan HP kita, maka jangan buru-buru percaya. Jangan semuanya ditelan. Di situlah kedewasaan emosi, integritas intelektual, serta selera bacaan seseorang akan terlihat.

Ada orang yang selektif, menganggap banyak sampah yang masuk ke ruang hati dan pikiran kalau saja dibaca semuanya. Kita menjadi garbage collector.

Pengumpul sampah, baik sampah tulisan maupun sampah visual. Sikap selektif ini sangat penting, mengingat di sana terdapat nasihat klasik, you are what you read. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan seseorang itu, banyak dipengaruhi oleh apa yang dilihat dan dibaca.

Mengapa kaum kapitalis sangat peduli pada iklan, bahkan rela mengeluarkan uang ratusan miliar untuk iklan? Karena mereka yakin bahwa apa yang dilihat itu akan memengaruhi pilihan dan menggerakkan tindakan untuk berbelanja.

Maka tak heran, belakangan ini iklan properti Meikarta, misalnya, muncul di berbagai media massa dan sudut-sudut kota Jakarta dengan asumsi bahwa iklan itu akan menstimulasi masyarakat untuk membelinya. Dana triliunan rupiah dibelanjakan untuk iklan.

Saya ingin berbagi cerita. Ada seorang teman bergabung dalam sebuah WhatsApp Group (WAG). Teman tadi sehabis membaca selalu ngedumel dan kadang hatinya panas karena isi dalam WAG itu tidak sejalan dengan pandangan politiknya dan agamanya. Pendeknya, isinya dianggap sampah, kasar, dan tidak etis.

Tetapi anehnya, dia tidak mau keluar dari WAG dan selalu saja membaca postingan yang dia tidak senang. Jadi, dengan setia membaca postingan yang tidak disenangi, sama saja dengan setia mengundang fans memasukkan sampah ke dalam hati dan pikirannya.

Mestinya, jika tidak senang cukup keluar dari WAG atau tidak membacanya. Kecuali jika yang dibacanya itu bermutu, maka teks postingan itu bagaikan vitamin atau cahaya yang membuat hati dan pikiran sehat serta terang dalam memandang hidup.

Membaca berarti juga menulis ulang dalam folder memori mental. Maka bacalah buku dan postingan yang sehat, berkualitas, karena bacaan itu pada urutannya akan mengkristal ingatan dan referensi ketika seseorang berbicara serta bertindak.

Saat ini sudah terlalu banyak sampah visual dan tekstual. Jangan sampai merusak selera kita menjadi rendah dan murahan.

Tuhan menciptakan ruang hati dan pikiran begitu mahal dan mulia. Jangankan hati dan pikiran, kalau kita punya almari pun pakaian yang kotor tidak akan kita masukkan. Rumah pun tiap pagi dan sore kita sapu, pel, dan bersihkan agar mengkilap. Terlebih cawan hati dan pikiran, mestinya lebih bersih. []

KORAN SINDO, 17 November 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah