Maaf

Oleh: Komaruddin Hidayat

TAK terbayang, andaikan kata “maaf” dihilangkan dari kosakata harian, pasti ada jurang psikologis yang menganga dalam pergaulan sehari-hari, yang menyimpan kepedihan dan kebencian. Mengapa? Karena tiap orang tak bisa dan tak pernah terbebaskan dari berbuat salah.

Kapan saja, di mana saja, disengaja atau tidak disengaja seseorang melakukan kesalahan yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tanpa adanya kata dan mekanisme saling memaafkan, betapa pengapnya hidup ini.

Kesalahan yang terjadi pada seseorang itu bisa bermula dari salah niat atau salah dalam mengambil keputusan. Coba hitung sendiri, setiap hari berapa banyak kita mesti membuat keputusan mengingat setiap saat selalu dihadapkan pada beragam pilihan.

Sejak dari urusan yang terlihat kecil, misalnya begitu bangun tidur, kita dihadapkan pada pilihan adakah mau mandi dulu baru kemudian sarapan, seseorang mesti membuat keputusan. Ketika memulai berkomunikasi, kata, nada, dan kalimat apa yang hendak kita gunakan itu pun pilihan.

Ketika membuka lemari mau mengambil pakaian, itu pun sebuah pilihan. Ketika ada telepon berdering, apakah akan diangkat ataukah didiamkan, itu pun sebuah putusan. Pendeknya setiap hari kita membuat ratusan putusan dan pilihan yang semuanya potensial terjadi kesalahan.

Yang menjadi masalah adalah ketika membuat salah dalam mengambil putusan yang kemudian berakibat fatal baik bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Lagi-lagi contoh kecil.

Ketika kita mengendarai mobil dan dihadapkan untuk memilih jalan tol, jika salah, adakalanya perjalanan menjadi panjang atau bahkan sesat jalan. Demikian pula halnya dengan rute kehidupan.

Ada mahasiswa yang salah memilih program studi, semata karena tidak punya pertimbangan matang atau sekadar memenuhi desakan orang tua, akhirnya tidak antusias menjalani perkuliahan dan tidak meraih prestasi optimal karena tidak cocok dengan bakat dan minatnya.

Ada lagi orang yang salah memilih pasangan hidupnya. Bayangan dan kesempatan membangun rumah tangga surgawi malah berubah jadi penyesalan karena penuh percekcokan dan saling tidak percaya yang berujung pada perceraian dengan segala risikonya.

Bagi seorang pemimpin dan public figure, salah bicara bisa berlaku formula: mulutmu harimaumu. Perhatikan saja apa yang menimpa Ahok dan Rizieq Shihab. Karena berbicara sembarangan keduanya berurusan dengan polisi dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Jadi gara-gara kesalahan yang dilakukan seorang pemimpin atau tokoh masyarakat, yang dirugikan bukan sebatas wilayah pribadi, melainkan juga institusi dan masyarakat. Orang yang paling merasakan akibat dari kesalahan kita adalah orang-orang yang terdekat dengan kita.

Jika seseorang melalukan korupsi lalu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, yang langsung merasakan akibatnya adalah keluarga terdekatnya. Minimal sekali mereka malu. Harga dirinya turun.

Dalam kehidupan keluarga, tak ada yang terbebaskan dari berbuat salah. Bisa saja bergantian antara suami, isteri, anak, pembantu, menantu, mertua, tetangga, dan melebar lagi di lingkungan tempat kerja.

Bayangkan jika manusia tidak mengenal kata “maaf”, tidak ada mekanisme untuk saling memaafkan. Jika semuanya pendendam, betapa menjemukan dan melelahkan hari-hari yang kita lalui.

Energi kita akan terkuras habis untuk merancang pembalasan. Hati dan pikiran akan dipenuhi sampah dan sumpah kebencian serta kekesalan yang kian lama kian membusuk dan mengeras.

Mengingat manusia adalah makhluk yang lemah, sering lupa dan berbuat salah, salah satu asma Allah adalah Al-Ghafur. Dia yang Maha Pengampun, yang menghapus dan memaafkan dosa-dosa manusia.

Sampai-sampai ada ungkapan populer di kalangan sufi, kalau saja bukan karena kasih dan ampunan Allah, manusia tak pantas masuk surga. Dosanya lebih banyak dari amal kebaikannya.

Kalau saja Allah membuka tabir aib kita, orang-orang di sekeliling kita akan terbelalak kaget dan meninggalkan kita. Bahwa kita tidak sebaik yang mereka duga.

Demikian pula halnya dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat horizontal, jika masih ingin menikmati panggung dunia dengan nyaman dan ramah, kita mesti membuka pintu maaf setiap saat.

Jangan pelit mengulurkan jabat tangan persahabatan dan senyum kasih sayang. Memaafkan tidak berarti meninggalkan prinsip moral dan menggeser kebenaran, tetapi sikap mental untuk menyembuhkan dan menjahit luka yang menganga yang selalu muncul hampir setiap hari.

KORAN SINDO, 27 Januari
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Kerja Tanda Syukur

Oleh: Komaruddin Hidayat

Coba perhatikan Alquran Surat Saba (34:13) yang artinya begini: “Bekerjalah hai keluarga Daud sebagai tanda syukur. Sedikit dari hamba-hambaKu yang menjadi pribadi suka bersyukur.”
Dalam ayat ini bekerja merupakan tanda syukur. Jadi, bagaimana memahami cara dan sikap bersyukur? Mari kita lihat pengalaman sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga.

Kalau ada anak minta komputer, pasti orangtua akan senang jika anak menggunakan pemberian komputer itu secara benar dan optimal untuk mendukung proses belajarnya. Jika hanya untuk main-main, pasti orang tua akan kecewa, berarti dia tidak memanfaatkannya secara benar.

Jadi, bersyukur itu menggunakan anugerah Tuhan agar hidupnya lebih produktif. Tidak cukup hanya memperbanyak ucapan verbal alhamdulillah.

Allah memberikan perangkat organ tubuh sangat canggih dan tak ada yang menjualnya. Sejak dari tangan, kaki, panca indera, otak dan lain-lainnya yang tak mampu kita menghitungnya.

Sebagai tanda syukur, kita wajib memfungsikannya sesuai saran permintaan Sang Pemberi, yaitu untuk kerja produktif dan tolong menolong. Berulangkali Alquran menyatakan tanda-tanda orang yang benar dalam menjalani agama adalah mereka senang berderma, membantu anak-anak miskin, memerdekakan mereka yang hidupnya tertindas.

Semua itu sulit dilaksanakan kalau kita miskin ilmu, miskin harta, dan tidak memiliki kewenangan politik untuk menyalurkan kekayaan negara di jalan yang benar. Maka relevan sekali perintah Allah (62:10), apabila sudah selesai melaksanakan salat, maka berteberanlah di muka bumi. Bekerjalah untuk menjemput karunia Allah dengan tetap selalu mengingat Allah, semoga kalian beruntung.

Ayat ini menyuruh kita jangan tinggal berlama-lama di masjid lalu enggan bekerja. Tentu saja tak ada larangan iktikaf di masjid jika memang itu sudah direncanakan, misalnya sewaktu kita pergi umrah ataupun malam hari iktikaf di masjid.

Kita berdiam lama di masjid untuk berzikir, salat sunah ataupun ikut pengaajian. Tetapi jika kita menghitung waktu ibadah salat wajib lima waktu, mungkin sehari semalam tak akan lebih memakan waktu dua jam. Artinya, waktu untuk bekerja dan ibadah sosial jauh lebih banyak ketimbang waktu salat.

Dalam ajaran Islam memang tak ada pemisahan antara ritual, bekerja, dan berumahtangga. Semuanya menjadi ibadah asalkan didasari niat melaksanakan perintah Allah.

Semuanya amal saleh, selama saleh niatnya, saleh tujuannya, dan saleh proses mencapainya. Saleh artinya benar dari sisi niat, benar metodenya, dan benar tujuannya yang pada urutannya mendatangkan manfaat dan keberkahan.

Dalam bahasa manajemen, saleh dalam bekerja artinya melakukannya secara professional yang mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Orang yang hanya memperbanyak ibadah ritual mengejar akhirat tetapi tidak mau membangun kebaikan dan kemakmuran dunia, jangan-jangan akhiratnya lepas karena kebaikan akhirat itu hasil akumulasi kerja keras amal saleh di dunia.

Coba saja baca dan renungkan perintah Alquran, orang yang berilmu dan kaya harta akan lebih mudah memenuhi anjuran Alquran. Jadi, mari kita mensyukuri hidup dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas agar produktif dan berkah.

Dalam pandangan Tuhan, kekayaan itu akhirnya bukan terletak seberapa banyak seseorang mampu mengumpulkan ilmu dan harta. Tetapi seberapa banyak ilmu dan harta itu turut serta memakmurkan serta menyejahterakan hidup bersama.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah bersabda, andaikan kemiskinan dan kefakiran itu menjelma menjadi sosok manusia, kemanapun berada akan dibenci dan dimusuhi. Maka usirlah kemiskinan dan kefakiran dengan menciptakan banyak lapangan kerja dan mengusir kemalasan, bukannya mengusir orang miskin serta orang fakir. []

TRIBUNNEWS, 26 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Memakan Bangkai Teman

Oleh: Komaruddin Hidayat

Terdapat peringatan sangat keras di dalam Alquran bagi orang beriman agar menjauhi sikap prasangka buruk dan berbuat gibah, yaitu membicarakan kejelekan teman sendiri dari belakang. Coba simak Alquran surat 49: 12. “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah sikap suka berprasangka karena sebagian prasangka itu tidak selalu benar dan medatangkan dosa. Jangan pula kamu mencari-cari kesalahan orang lain serta saling menggunjingkan teman, membicarakan hal-hal yang kamu pandang buruk di saat temanmu tidak di tempat. Yang demikian itu, bukankah sama halnya kamu menikmati bangkai temanmu, yang tentu saja menjijikkan?”

Di sini Alquran menggunakan ungkapan sangat keras. Mencari-cari kesalahan teman lalu dijadikan bahan gunjingan itu tak ubahnya memmakan bangkai temannya.

Mengapa? Karena ketika bergunjing itu mungkin sekali merasa enak dan asyik layaknya orang lapar memperoleh makanan untuk disantap. Lalu, mengapa bangkai? Karena mungkin sekali apa yang digunjingkan itu tidak benar, mengandung fitnah, sementara orang yang dijadikan sasaran tidak bisa membela diri karena tidak berada di tempat, sehingga tak berdaya bagaikan mayat atau bangkai.

Kalau saja yang berbuat gibah sadar pasti merasa jijik karena yang tengah dinikmati itu oleh Alquran diidentikkan dengan bangkai. Berprasangka buruk (suuzan) adalah pangkal fitnah.

Orang membangun cerita negatif tentang orang lain, padahal itu hanya imajinasi yang muncul dari rasa iri dan dengki. Jika cerita itu sampai ke orang lain atau yang bersangkutan, sangat mungkin akan berkembang lebih jauh lagi menjadi kebencian, permusuhan, dan perkelahian.

Akibat yang ditimbulkan dari fitnah skalanya bisa lebih besar dan lebih berbahaya dari pembunuhan. Fitnah ini mudah sekali menyelinap melalui jargon dan mekanisme demokrasi, misalnya saja di saat menjelang pilkada atau pemilu.

Antar calon dan pendukungnya tidak segan-segan mengintip, mencari-cari dan mengorek kekurangan lawan. Jika ditemukan, kekurangan yang lalu dibesar-besarkan. Hal-hal gang sifatnya pribadi lalu dibuka secara terbuka ke publik.

Yang lebih bahaya lagi, jika ternyata tidak ditemukan kesalahan, maka diciptakan berita bohong untuk menjatuhkannya. Makanya dalam masyarakat muncul kesan kuat, politik itu kotor, penuh kebohongan, dan saling membunuh lawannya. Kata politik dan demokrasi yang pada dasarnya bagus serta mulia, lalu ternodai menjadi kotor.

Munculnya teknologi komunikasi yang semakin canggih seperti handphone, masyarakat begitu cepat menyebarkan berita gosip dan fitnah. Hanya dengan copy paste sebuah berita yang kadang bernada fitnah menyudutkan seseorang atau kelompok, bisa tersebar hanya dalam hitungan menit, menyebar ke ratusan ribu orang.

Ada lagi fitnah itu ditampilkan menggunakan bahasa gambar atau foto yang sudah diubah dan dimanipulasi. Foto wajah dan tubuh orang lain namun dimanipulasi seakan orang yang sama, dimaksudkan untuk memperolok.

Di samping fungsinya yang positif untuk menjaga pertemanan dan berbagi ilmu, media sosial juga banyak disalahgunakan untuk membunuh karakter seseorang (character assassination). Semua ini jelas tidak sejalan dengan etika Alquran. Persoalannya memang tidak mudah bagaimana mengendalikan dan mencegah lalu lintas informasi yang merusak.

Oleh karenanya menjadi sangat penting dan mendesak membangun daya tahan dimulai dari keluarga. Masing-masing saling mengingatkan yang lain untuk menjaga lisan.

Berbicaralah yang baik-baik, atau pilihlah diam untuk menjaga lisan, begitu sabda Rasulullah saw. Bahkan saya ketemu beberapa keluarga yang sangat pelit menonton televisi karena dinilainya tidak mendidik bagi anak-anak dan remaja. []

TRIBUNNEWS, 24 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Membalas Penghormatan

Oleh: Komaruddin Hidayat

Jika ada orang memberikan penghormatan, sapaan atau greeting, Alquran mengajarkan agar kita membalasnya dengan balasan lebih baik, atau sedikitnya setimpal (lihat Alquran 4:86). Dalam Alquran digunakan kata tahiyyah yang artinya sapaan penghormatan yang kadang dihubungkan dengan kalimat doa. Sebagaimana ucapan salam ketika bertemu teman atau memulai pidato.

Sapaan berupa greeting ini sifatnya universal. Bangsa manapun memiliki formula ucapan yang populer dan baku. Makanya ketika kita berkunjung ke sebuah negara, dianjurkan mengenal dan menghafal sapaan persahabatan ini.

Dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan, misalnya, selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, selamat tidur, selamat makan, dan lain sebagainya. Alquran mengajarkan agar kita membalasnya dengan ucapan setimpal, atau lebih baik.

Biahsana minha aw rudduha. Tradisi ini sudah berlangsung lama di tanah air. Ketika seseorang hendak memulai memberi sambutan atau pidato, umumnya diawali dengan ucapan salam sesuai dengan tradisi yang berlaku.

Karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, siapapun orangnya dan apapun agamanya, umumnya memulai pidatonya dengan Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Semoga keselamatan dan berkah Allah terlimpah padamu. Para pendengar pun dianjurkan membalasnya.

Kalau saja penghormatan itu keluar dari hati yang tulus, muncullah sebuah aura dan energi positif dan damai dalam majelis itu sehingga mengusir emosi kebencian dan permusuhan, layaknya cahaya terang mengusir kegelapan. Sebutan dan nama Allah sesungguhnya tidak ekslusif milik umat Islam.

Ayah Nabi Muhammad saw. bernama Abdullah, menunjukkan sebutan Allah sudah dikenal sebelum kerasulan Muhammad saw. Jadi, jika Allah yang dimaksudkan adalah Tuhan pencipta semesta ini, semua agama akan menerimanya.

Yang berbeda adalah konsep ketuhanan dan doktrin keyakinan serta ritualnya. Jika ada orang non-Muslim mengucapkan salam atau greeting yang lazim dipakai dalam tradisi Islam, bisa saja disikapi secara positif. Berarti dia tertarik dan menghormati tradisi ajaran Islam. Dan lagi tak ada larangan orang meniru terhadap tradisi yang baik.

Rasulullah itu diutus bukan saja mendoakan masyarakat Arab yang kafir kala itu, bahkan juga mencintai dan membimbing mereka ke jalan kebaikan dan keselamatan. Rasulullah selalu mendoakan kaumnya agar mendapat hidayah Ilahi.

Rasulullah berdakwah dengan penuh kesabaran dan cinta kasih. Jadi, satu di antara etika Alquran bukan saja membalas penghormatan dengan penghormatan balik setimpal, melainkan mendoakan dan berbagai kasih sebagai sesama hamba Tuhan.

Alquran secara tegas melarang membenci seseorang karena alasan etnis, karena keragaman etnis itu ciptaan Tuhan, bukan rekayasa manusia. Kita juga tidak boleh memusuhi orang karena berbeda keyakinan.

Lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Nanti di akhirat Allah yang akan menimbang dan mengadili keimanan dan amal kita masing-masing. Paling jauh yang kita minta dari sesama kita adalah agar berbuat baik, jangan membuat kerusakan di muka bumi, dan merampas hak-hak orang lain. Urusan iman biarlah Allah yang menjadi hakimnya. []

TRIBUNNEWS, 22 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Rakus dan Tamak

Oleh: Komaruddin Hidayat

Alquran menyinggung perilaku orang yang rakus. Uniknya, dalam bahasa Indonesia kata rakus jika diubah posisi hurufnya menjadi kuras dan rusak.

Mari kita simak terjemahan ayat Alquran berikut ini (2: 96); “Dan sungguh engkau Muhammad akan mendapati mereka yang sangat rakus terhadap kehidupan dunia, bahkan lebih tamak dari orang musyrik. Mereka pun berangan‑angan agar bisa hidup seribu tahun. Padahal umur panjang itu tak akan menjauhkan mereka dari azab Allah. Allah maha melihat apa yang mereka kerjakan.”

Beberapa ulama tafsir menyebutkan bahwa yang dicontohkan dalam ayat ini adalah kaum Yahudi di Arab kala itu. Mereka tidak hanya pelit, melainkan juga rakus. Bahkan jika terdapat sistim riba yang menjerat pihak peminjam itu lalu dinisbatkan pada kaum Yahudi.

Meski begitu mengingat pesan Alquran ditujukan untuk semua manusia, sesungguhnya potensi bertindak rakus itu bisa terjadi pada siapa saja, melintasi zaman dan ruang geografis. Dalam surat 104, Alquran berbicara lebih tegas lagi mengenai perilaku rakus ini: “Celakalah bagi setiap orang yang senang mengumpat dan mencela. Mereka senang mengumpulkan harta dan menghitung‑hitungnya, mengira harta itu akan mengekalkan hidupnya.”

Kutipan ayat‑ayat di atas menggambarkan orang yang rakus, cinta dunia secara berlebihan, memiliki keengganan untuk berpisah dari dunia. Maunya ingin hidup seribu tahun. Kata seribu sifatnya simbolik, ingin memeluk dunia ini selamanya. Mereka silau, lupa, dan tertipu oleh gemerlapnya dunia.

Padahal kenikmatan dunia itu teramat singkat dan pendek. Kata orang bijak, isi dunia ini kalau saja dibagi rata secara adil dan disikapi dengan rasa syukur dan saling menyayangi, sudah lebih dari cukup untuk menopang hidup mewah.

Tetapi karena muncul sikap rakus dan tamak oleh pribadi‑pribadi dan bangsa yang kuat, sehingga kemiskinan dan kekurangan muncul di mana‑mana. Sementara, sekelompok kecil penduduk bumi hidup amat sangat mewah yang didapat dari menindas.

Ketimpangan dan penindasan itu lalu melahirkan piramidal society. Sebuah masyarakat layaknya bangunan piramid, di mana sekelompok orang kaya berada di puncaknya sementara lapisan bawah bagian terbesar hidupnya menderita.

Ini akibat kerakusan pribadi‑pribadi, ditopang oleh sistem politik ekonomi yang menindas. Kerakusan struktural ini juga terjadi dan dilakukan oleh negara.

Negara yang kuat, pintar, dan maju mengeksploitasi negara lain, tak ubahnya sebuah imperialisme global yang terselubung. Kita lihat banyak negara‑negara yang berada di wilayah tropis ke selatan alamnya kaya raya, namun penduduknya miskin akibat dibodohi oleh negara maju di belahan utara.

Dalam Alquran (89: 17‑20) disinyalir terdapat sekelompok orang yang merampas harta anak‑anak yatim dan memakan harta pusaka (sebuah bangsa) dengan sangat tamaknya, nafsu cinta pada dunia berlebihan, hubban jamma. Allah mengancamnya dengan neraka jahanam.

Ini sebuah ungkapan yang sangat keras, menunjuklan kebencian Allah pada sikap rakus karena akan merusak harmoni sosial dan keseimbangan lingkungan hidup. Pesan agama selalu menekankan kasih sayang, hidup saling berbagi. Agama apapun memuji sikap filantropis.

Pribadi yang melimpah, bukannya yang selalu mengambil, menumpuk kekayaan yang akan mendatangkan kolestrol sosial. Kekayaan alam ini tidak boleh berputar hanya di antara sekelompok orang kaya. []

TRIBUNNEWS, 22 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Bakhil Membawa Sengsara

Oleh: Komaruddin Hidayat

Dalam Alquran terdapat berbagai ayat yang mengingatkan orang yang bersikap bakhil atau pelit, ujungnya malah menyengsarakan diri sendiri. Bahkan orang yang enggan bersyukur, yaitu memanfaatkan anugerah Allah di jalan kebaikan, Alquran menyebutnya sebagai kekufuran (14:7).

Kufur atau kafir artinya orang menutupi (cover) atau enggan mengakui kebaikan Allah kepadanya. Makna ini juga sejalan dengan pengertian kafir, yaitu orang yang menutup hati dan pikirannya dari cahaya kebenaran yang terlihat di depan matanya.

Mereka tahu kebenaran, tetapi mengingkarinya. Bahkan memusuhinya, seperti yang dilakukan Abu Jahal dkk terhadap Rasulullah, karena ego dan kepentingan pribadinya terancam.

Dalam Alquran Surat Al Lail (92), Allah berfirman: “Siapapun orangnya yang senang berbagi semata karena mengharap rida Allah, maka Allah akan melapangkan jalan hidupnya. Dan barang siapa kikir, merasa dirinya kaya, dan tidak memerlukan lagi pertolongan Allah, maka Allah akan mendekatkan pada pintu kesempitan dan kesulitan hidupnya.”

Kalimat ini merupakan ancaman dan janji dari Allah berupa akibat buruk dan baik bagi mereka yang suka berderma dan yang kikir. Ayat‑ayat serupa mudah dijumpai dalam Alquran dan Hadist.

Mari kita bahas sekilas secara psikologis‑empiris. Orang yang bakhil, pelit, akan selalu merasa dirinya miskin sekalipun berkecukupan atau bahkan berlebih dibanding orang lain. Kekayaan yang dimiliki takut berkurang sehingga tanpa disadari dia telah berperan sebagai pesuruh atau penjaga hartanya, bukannya harta yang menjadi penjaga dirinya.

Orang yang pelit, posisi hartanya yang menjadi majikan, bukan sebaliknya. Padahal Alquran menyebutkan, sesungguhnya semua yang ada ini hakikatnya milik Allah, manusia hanya dipinjami dan diberi kewenangan untuk mengelolanya dalam jumlah amat sangat sedikit.

Jika kita selalu memandang ke atas, di atas langit masih ada langit. Jika seseorang tidak pernah mensyukuri rezeki dan kekayaan yang ada, pasti akan lelah, selalu merasa miskin, karena di sana banyak orang yang lebih kaya.

Orang yang selalu menghitung‑hitung dan membanding‑bandingkan hartanya ibarat berjalan dengan mata dan muka memandang ke atas. Tidak menikmati perjalanan. Leher sakit dan kaki mudah kesandung.

Maka pandanglah ke depan dan sedikit ke bawah. Sekali‑sekali saja boleh ke atas agar muncul dorongan semangat berusaha.

Yang lebih bahaya dari orang pelit adalah jika menempatkan kekayaan sebagai status sosial dan identitas diri, sehingga berlaku formula: I am what I have (saya adalah apa yang saya punya) Penyakit having mode ini menggeser jati diri seseorang yang sesungguhnya lebih tinggi dan bersifat immateri mengingat misi kehidupan tertinggi manusia itu bersifat ruhani.

Kemuliaan di mata Allah dan di mata manusia yang dinilai bukanlah berapa banyak harta dan kedudukan, melainkan derajat ketaqwaan hidupnya, termasuk bagaimana jalan mendapatkan kekayaan dan untuk apa harta dibelanjakan. Harta yang abadi adalah yang telah dibelanjakan di jalan Allah, sedangkan yang belum dibelanjakan kita tidak tahu akan ke mana larinya.

Allah berjanji harta yang senantiasa dikeluarkan zakat serta shodaqohnya justru akan senantiasa diberkati dan dilipatgandakan pahalanya, akan dirasakan sejak di dunia maupun di akhirat kelak. Berapapun banyaknya harta dimiliki, seseorang akan tetap merasa miskin kecuali mereka yang bersyukur dan berbagai rezeki bersama mereka yang mesti dibantu.

Fenomena masyarakat Barat yang menarik direnungkan adalah kesukaan mereka berderma, antara lain berupa Corporate Social Responsibility (CSR), dan membantu lembaga‑lembaga sosial kemanusiaan serta pendidikan. []

TRIBUNNEWS, 21 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Kekuatan Ikhlas

Oleh: Komaruddin Hidayat

Alkisah di sebuah desa hiduplah seorang ulama yang sangat disegani meski secara ekonomi pas-pasan. Dia telah berusaha mengajak penduduk di sekitarnya untuk menyembah Tuhan dan meninggalkan tradisi serta kepercayaan lama.

Selama ini mereka suka menyembah gunung dan pohon-pohon besar karena diyakini keduanya memiliki kekuatan gaib yang bisa menyejahterakan maupun mencelakakan penduduk sekitar. Suatu hari ulama tadi mendapat laporan, tak jauh dari desanya terdapat sebuah pohon yang sering didatangi penduduk untuk membuat sesaji dan ritual.

Mendengar berita itu, sang ulama mengambil parang dan bergegas ke sana untuk memberikan khotbah, kalau perlu menebang pohon itu. Di tengah jalan, rupanya setan menjelma menjadi pemuda gagah dan kekar.

Dia gembira kalau banyak warga desa yang jadi temannya. “Mau pergi kemana ustaz?” tanya pemuda tadi. “Aku akan mengingatkan penduduk desa agar meninggalkan kepercayaan sesat dan aku akan tebang pohon yang membuat orang menjadi musyrik,” jawab sang ustaz.

“Aku pemilik dan penjaga pohon itu. Siapapun yang hendak menebang mesti melawan aku dulu,” gertak sang pemuda. Setelah ulama tadi mencoba berbicara baik-baik tidak mempan, akhirnya terjadilah perkelahian fisik, antara ustaz yang kecil dan kurus melawan pemuda yang kekar dan gagah.

Akhir perkelahian, pemuda tadi kalah. Ustaz kemudian mendatangi dan menasihati penduduk yang sedang menyembah pohon, agar membubarkan diri.

Selang beberapa hari, rupanya masih saja terjadi ritual menyembah pohon. Lagi-lagi sang ustaz pergi memberi khotbah. Di tengah jalan, setan yang menjelma menjadi pemuda kekar dan gagah mencegatnya, membujuk agar jangan menebang pohon sambil menyodorkan uang.

Ustaz marah, merasa terhina, sehingga perkelahian tidak terhindarkan. Lagi-lagi, pemuda yang tampaknya lebih kekar dan perkasa itu kalah. Penduduk kembali dinasihati dan kalau masih mengulangi pohon akan ditebang.

Ustaz tadi merasa lega karena telah berusaha berdakwah mengajarkan tauhid, mengajak warganya ke jalan yang benar, hanya menyembah Allah. Namun sungguh kaget, suatu hari ada berita penduduk lain berdatangan untuk melakukan ritual serupa.

Demikianlah, di tengah jalan ustaz sudah mengira, pasti seorang pemuda akan mencegatnya lagi. Dalam hati berbisik, berapa banyak uang kompromi yang mau ditawarkan kali ini. Kalau saja tawarannya di atas Rp 25 juta, lumayan jugalah untuk perbaiki rumah, pikir ustaz tadi.

Memang benar jumlah penduduk yang menyembah pohon masih banyak. Maka dicabutlah parangnya untuk menebang pohon itu. Namun pemuda tadi menghadang sehingga terjadi perkelahian, disaksikan orang banyak.

Nasib kurang beruntung, ustaz kali ini kalah. Dia pulang dengan wajah merunduk. Sampai di rumah dia merenung. “Mengapa dulu aku menang dengan mudahnya melawan pemuda itu, tetapi mengapa sekarang aku kalah,” keluhnya.

Ia lalu mengambil air wudu, terus salat memohon ampun dan petunjuk Tuhan. Dalam salat itu dia sadar dan mendapat jawaban mengapa dia kalah. “Perkelahian pertama dan kedua aku menang karena ikhlas, semata karena Allah. Sedangkan yang terakhir dalam hatiku sudah ternoda dan tergoda membayangkan uang kompromi atau sogokan dalam jumlah yang lebih besar, sehingga keikhlasanku tidak bulat, bahkan rusak. Aku tidak lagi sakti, bahkan jadi tertawaan setan dan konco-konconya meski aku seorang ulama.”

Masih ada kisah lain yang juga menjelaskan kekuatan dan keajaiban ikhlas. Di suatu desa terdapat seorang ulama yang juga disegani oleh warganya. Karena didorong oleh cintanya kepada ustaz, ada seorang warga desa yang menghadap minta didoakan sambil membawa oleh-oleh singkong dari kebunnya sendiri.

“Ustaz, ini sekadar hadiah tak seberapa nilainya, sebagai rasa cinta dan syukur, saya membawa singkong dari hasil panen kebun sendiri. Semoga ustaz bersedia menerima hadiah ini,” ujar warga kepada ulama.

Sang ulama terharu pada kepolosannya, sehingga menggerakkan hatinya untuk membalas dengan memberi hadiah. “Terima kasih kunjunganmu dan hadiah yang engkau bawa. Semoga ke depan panennya semakin banyak. Sebagai rasa terima kasih, terimalah hadiah dari saya, seekor kambing ini. Mudah-mudahan ke depan akan beranak-pinak yang banyak dan sehat-sehat”, kata ulama.

Selang beberapa hari rupanya ada tetangga yang tahu kebaikan ustaz tadi. Pagi-pagi dia bertamu ke rumah ustaz sambil membawa hadiah seekor kambing. “Semoga ustadz akan membalasnya dengan memberi hadiah seekor sapi pada saya,” bisiknya dalam hati.

“Terima kasih atas kebaikan hatimu. Sekadar sebagai tanda terima kasih, ini saya hadiahkan sekeranjang singkong, pasti istri dan anak-anakmu akan senang,” jawab ustaz sambil tersenyum. Dengan hati kecewa, ia pulang sambil membawa sekeranjang singkong.

Dia menyesal, alih-alih mendapat hadiah sapi yang dia bayangkan, kambingnya malah ditukar dengan singkong. Dua kisah tadi kelihatanya sepele. Namun ada pelajaran yang amat berharga.

Keikhlasan merupakan sumber kekuatan dan kebahagiaan hidup. Ikhlas adalah energi dan cahaya hati. Tanpa keikhlasan daya hidup akan melemah dan dunia menjadi pengap. []

TRIBUNNEWS, 21 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Urban Sufism

Oleh: Komaruddin Hidayat

Akhir 1990 saya kembali ke Jakarta setelah selesai menamatkan doktor di Turki. Almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Utomo Danandjaja (Mas Tom) meminta saya untuk bergabung ke Yayasan Paramadina.

Keduanya tidak memberi pengarahan apa pun tentang apa yang mesti aku lakukan di Paramadina. Keduanya memberi kebebasan terserah saya mau apa, yang penting mau bergabung mengembangkan Paramadina yang sudah dikenal sebagai gerakan moral-intelektual keislaman, dengan basis utama kelas menengah kota dan kalangan elite. Yang menonjol dari kegiatan Paramadina kala itu adalah menyelenggarakan Klub Kajian Agama (KKA) setiap bulan, bertempat di hotel berbintang.

Peserta datang dengan membeli karcis. Panitia menyediakan minuman dan makanan ringan, serta makalah yang hendak disajikan malam itu. Cak Nur selalu menjadi pembicara, didampingi pembicara tamu secara bergantian. Topik kajian pun begitu beragam, semuanya disajikan dalam makalah ilmiah. Sebelum dimulai, ada kalanya para peserta disuguhi permainan piano.

Melihat antusiasme kelas menengah terhadap studi islam dengan pendekatan ilmiah, dialogis, tanpa semangat menggurui, maka saya bersama Elza Taher dan Budhi Munawar Rahman lalu menyusun paket-paket studi Islam layaknya sebuah forum kuliah di universitas. Pusatnya di Pondok Indah Plaza Tiga, Jakarta Selatan. Setiap tema kuliah, kami pecah-pecah menjadi 8-16 topik pertemuan, dengan menghadirkan dosen secara bergantian sesuai minat dan bidang keahliannya.

Dalam kajian tematik ini, saya selalu hadir mendampingi dosen tamu. Kalau dosen tidak hadir, saya sebagai gantinya. Mungkin tahun itu Paramadina merupakan pionir menyelenggarakan studi Islam secara tematik, terstruktur, dan sangat diminati kalangan eksekutif. Peserta hadir ke Paramadina sesuai dengan mata kuliah yang dipilihnya.

Pada Sabtu banyak peserta yang mengikuti kuliah pagi hari, pukul 10.00-12.00 WIB, diteruskan mengambil kuliah sore pukul 14.00-16.00 WIB. Beberapa topik kajian itu antara lain: Pengantar Studi Islam, Sirah Muhammad, Tema-Tema Pokok Alquran, Hukum Islam, Filsafat Islam, Sejarah Islam, Ilmu Kalam, dan Tasawuf. Karena diisi oleh beragam dosen, kajian Islam ini tanpa disengaja menerapkan pendekatan interdisipliner. Islam didekati secara historis, rasional, filosofis, dengan pedoman dasar Alquran dan semangat tasawuf, yaitu penghayatan akan kasih sayang Allah. Semesta ini hadir karena cinta-Nya.

Manusia diciptakan karena cinta-Nya. Para Rasul diutus karena cinta-Nya. Islam adalah agama cinta. Itulah salah satu pesan yang terkandung perintah agar memulai semua tindakan dengan bacaan basmalah. Bismillahirrahmanirrahim. Jadi, kajian Islam di Paramadina berangkat dari wahyu Alquran, lalu didekati dengan berbagai disiplin ilmu, seperti Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Tasawuf. Oleh karena itu, beberapa peneliti asing menempatkan Paramadina sebagai pionir gerakan urban sufism atau sufisme perkotaan.

Sebuah pendekatan tasawuf populer, dengan menekankan bimbingan untuk meraih pencerahan intelektual dan hati. Ini berbeda dari tarekat yang dibimbing oleh guru spiritual secara langsung dengan bacaan zikir atau wirid dalam jumlah tertentu. Metode yang dirintis Paramadina ini sekarang sudah tumbuh di berbagai tempat. Salah satu kelebihan Paramadina adalah berbagai ceramah yang disajikan ditulis dan diterbitkan dalam bentuk buku, terutama ceramah oleh Nurcholish Madjid.

Sekian banyak buku karangan Nurcholish Madjid pada awalnya adalah makalah-makalah di Paramadina, yang ditulis secara serius dengan standar ilmiah. Tak banyak penceramah yang juga penulis serius. Yang menonjol tentu saja Pak Quraish Shihab. Karya-karya tulisnya akan menjadi amal jariah dan umurnya menjadi lebih panjang dari usia biologisnya. Kita mengenal Imam Ghozali pun lewat dan karena warisan karya tulisnya, terutama Ihya Ulumuddin. []

Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 10 Juni 2016

Rumahku Surgaku

Oleh: Komaruddin Hidayat

Rasulullah pernah bersabda, rumahku surgaku. Baiti jannati. Ungkapan ini akan sangat dipahami dan dirasakan oleh mereka yang merintis kerja di Jakarta yang dimulai dari nol seperti yang saya alami ketika masuk Jakarta tahun 1974 tanpa agenda jelas.

Saya membeli rumah melalui kredit Bank BTN pada tahun 1983, ukuran 54 meter persegi, selama 15 tahun, lokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Salah satu kemewahan yang dirasakan ketika seseorang memiliki rumah sendiri adalah adanya zona privasi, hidup terasa merdeka ketika berada di rumah. Dan lagi terbebas dari bayar kontrakan setiap bulan atau tahun.

Sekecil apa pun, yang namanya rumah pribadi jauh lebih indah dan nikmat ketimbang tinggal di rumah kontrakan sekalipun lebih besar dan bagus kondisinya. Konon katanya, memiliki rumah pribadi hasil jerih payah sendiri jauh lebih nikmat ketimbang tinggal di rumah warisan orang tua. Saya sadar betul, kalau tidak nekat mengambil kredit BTN, sulit dibayangkan kapan akan punya rumah sendiri.

Tidak mungkin menunggu tabungan cukup untuk membeli rumah. Penghasilan dari gaji PNS waktu itu sekitar Rp50.000, angsuran bulanan Rp36.000. Untunglah istri saya, Ait Choeriah, juga bekerja sebagai PNS sehingga ikut membantu kebutuhan dapur. Dengan tanggungan dua anak dan seorang pekerja rumah tangga, hidup di Jakarta sebagai pegawai negeri mesti punya ketahanan mental tinggi.

Mesti kreatif mencari penghasilan tambahan. Cara termudah adalah mengajar di luar tugas utama di IAIN Syarif Hidayatullah. Kalau diputar kembali memori pergulatan hidup berkuliah sambil mencari biaya sendiri, lalu berumah tangga, kemudian nekat mengambil kredit rumah, saya sendiri heran, kok berani membuat keputusan yang menantang.

Tapi setelah berlalu, justru semua itu menjadi kekayaan mental yang indah dan lucu untuk dikenang. Kata orang, jika sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta, berarti 50% beban hidup teratasi. Saya percaya saja ungkapan itu sebagai motivasi. Cara paling baik adalah menciptakan tantangan.

Berumah tangga pun kalau menunggu cukup modal harta dan punya rumah sendiri, bisa jadi mesti menunggu sampai tua atau malah akan hidup membujang. Karena pernah berkarier sebagai wartawan, saya jadinya banyak tahu bahwa orang-orang yang sekarang sukses pun dulunya merintis dari bawah. Kalangan Tionghoa yang banyak menguasai perekonomian Indonesia dulunya datang ke Nusantara bermodal tekad dengan menaiki perahu tongkang.

Tapi karena mereka gigih, tekun, dan tahan banting, banyak yang kemudian masuk deretan orang terkaya di Indonesia. Tradisi kerja keras ini diwariskan secara turun-temurun. Orang Inggris punya ungkapan bijak, it is easy to build a house, but not home. Membangun rumah dalam arti fisik adalah mudah. Yang sulit adalah membangun kehidupan rumah tangga.

Oleh karenanya kita tidak kaget, ada rumah tangga yang secara materi berlimpah, rumah mewah, tetapi kehidupan keluarganya tidak bahagia. Sebaliknya, banyak keluarga yang tinggal di rumah yang sederhana, tetapi hidupnya bahagia. Pendidikan anak-anaknya sukses. Hidup terhormat di tengah lingkungannya. Tentu saja yang ideal adalah lahir-batin, moril-materiil sukses.

Selamat dan bahagia dunia-akhirat. Orang tua sering membuat ungkapan, rumah tangga itu ibarat tempat berlabuh, melepaskan semua rasa penat dan gelisah. Mungkin saja ungkapan itu muncul karena nenek moyang kita banyak yang mencari nafkah sebagai pelaut. Atau pedagang lintas pulau yang selalu menghadapi ancaman ombak ganas, cuaca panas, dan meletihkan.

Makanya, yang paling didambakan adalah berlabuh, melepas rindu kumpul dengan keluarga dalam suasana aman dan nyaman. Bagi mereka yang tinggal di kota besar semacam Jakarta, suasana kerja dan lalu lintas kadang kala juga tidak kalah ganas dari lautan. Hidup penuh persaingan, lalu lintas macet, ancaman narkoba dan kejahatan selalu membayangi.

Jika rumah tangga tidak menawarkan kedamaian, sebesar dan sebagus apa pun bangunan rumah, mimpi indah memiliki rumah sendiri sebagai basis kehidupan rumah tangganya tak akan tercapai. Alhamdulillah, meski tembok bangunan rumah yang saya angsur melalui BTN terbuat dari batako, kami sekeluarga merasa memiliki istana sendiri.

Tak lagi hidup di rumah kontrakan yang sempit, sumur dengan airnya yang kadang keruh dan mesti berbagi dengan tetangga. Sekecil dan sejelek apa pun rumah sendiri yang sudah permanen, isian kartu tanda penduduk (KTP) juga ikut permanen, tidak nomad. Namun sejak tahun 2000 kami lalu pindah ke rumah baru yang lebih dekat dengan kampus, masjid, rumah sakit, dan kuburan. []

KORAN SINDO, 25 Maret 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Pertama Kali ke Luar Negeri

Oleh: Komaruddin Hidayat

Sebagai orang kampung dari keluarga miskin, pengalaman pertama kali ke luar negeri dengan pesawat terbang sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan. Bahkan sejak proses mengurus paspor hatiku sudah berbunga-bunga.

Waktu itu saya mewakili Pengurus Besar HMI menghadiri seminar kebudayaan Islam di Kuala Lumpur, Malaysia. Persisnya pada bulan April 1980. Saya datang bertiga bersama Sahar L Hasan, sekarang aktivis Partai Bulan Bintang (PBB), dan Harry Azhar Azis yang sekarang menduduki jabatan sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Karena Malaysia dan Indonesia sama-sama menggunakan bahasa Melayu, yang paling mengesankan adalah naik pesawat terbang ke luar negeri sekalipun jarak penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur hanya dua jam. Saya bertemu dengan dua sosok intelektual dan aktivis Malaysia yang sangat populer dan disegani. Pertama Prof Naquib al-Attas, kedua Anwar Ibrahim. Saya membeli dua buah buku Naquib yang berulang kali saya baca ulang karena isinya yang cukup mencerahkan, yaitu Islam and Secularism serta Islam dan Peradaban Melayu.

Prof Naquib melakukan kritik epistemologis sangat mendasar terhadap filsafat Barat yang telah memengaruhi dunia Islam. Dia menawarkan agenda Islamisasi ilmu pengetahuan untuk menangkal proses sekularisasi pemikiran yang meracuni generasi muda Islam. Adapun di buku kedua, Naquib menjelaskan sumbangan bahasa dan peradaban Melayu terhadap penyebaran Islam di Indonesia.

Dikatakannya, terjadi hubungan simbiosis antara penyebaran Islam, bahasa Melayu, dan dinamika perdagangan yang pada urutannya baik Islam maupun bahasa Melayu dengan cepat menyebar ke wilayah Nusantara dengan pusatnya di kota-kota pantai. Budaya pantai yang egaliter juga sejalan dengan karakter Islam dan bahasa Melayu, berbeda dari budaya pedalaman serta karakter bahasa Jawa atau Sunda yang mempertahankan strata sosial.

Dengan ditetapkannya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, komunikasi sosial berlangsung egaliter dan bahasa Indonesia juga menjadi pengikat kohesi berbangsa dengan masyarakatnya yang sangat majemuk. Salah satu efek pengalaman pertama ke luar negeri yang saya rasakan kala itu adalah munculnya keinginan dan lamunan, kapan bisa ke luar negeri berikutnya?

Bagi keluarga yang berkecukupan, liburan ke luar negeri tentu bukan acara yang menghebohkan. Tapi bagi saya yang masih berstatus mahasiswa, bisa ke Malaysia atas sponsor donatur HMI merupakan kebanggaan tersendiri yang ternyata menjadi pemula untuk jalan-jalan ke
luar negeri pada tahun-tahun berikutnya.

Sampai hari ini saya ingat-ingat sedikitnya 40 negara pernah saya kunjungi, baik sebagai wartawan, undangan seminar maupun untuk rekreasi. Sayang sekali saya tidak membuat catatan tertulis dan lengkap saat menjelajahi berbagai kota dunia dan bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi hidup saya. Misalnya sebagai tamu Muammar Qadafi, diterima dalam kemah di halaman istananya. Ketika pulang diberi uang lalu saya belikan dasi dan parfum karena uang Libya sulit dibelanjakan di luar negaranya.

Dulu hubungan antara Indonesia dan Malaysia saya rasakan hangat dan akrab. Sama-sama rumpun Melayu yang memiliki banyak kesamaan. Indonesia dianggap saudara tua yang disegani. Banyak guru dan dosen Indonesia diundang ke sana untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Tapi dengan berjalannya waktu, Malaysia yang saat ini berpenduduk sekitar 30 juta banyak membuat terobosan dalam bidang pendidikan yang pada urutannya mendongkrak perbaikan ekonomi negaranya.

Sebagai bagian dari negara persemakmuran Inggris, bahasa Inggris masih dipertahankan, bahkan dijadikan bahasa pengantar dalam pembelajaran di kampus, sehingga sangat membantu mempermudah kerja sama keilmuan dengan negara-negara Barat, terutama Inggris dan Australia. Ini berbeda dari Indonesia yang pernah dijajah Belanda, yang kemerdekaannya diraih melalui pertempuran, sehingga bahasa Belanda pelan-pelan hilang. Di samping pula bahasa Belanda memang tidak menonjol sebagai bahasa ilmiah dan bahasa diplomasi dalam panggung global. []

KORAN SINDO, 18 Maret 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah