Belajar Mendengar

Sumber Tulisan : Disini

Dalam hadis riwayat Abu Hurairah yang dikutip dari Kitab Sahih Bukhari, tentang keutamaan puasa disebutkan bahwa  puasa itu “junnah” atau perisai. Maka, janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang memeranginya atau mencaci makinya, hendaklah ia berkata “sesungguhnya aku sedang berpuasa”.

Hadis ini hanyalah secuil dari sekian banyak dalil yang berbicara tentang hikmah puasa sebagai perisai agar kita menjaga lisan. Lisan atau lidah kita memang salah satu anggota tubuh yang dianggap tidak mudah dikendalikan.

Ada pepatah “lidah tidak bertulang” untuk menunjukkan  betapa lentur dan tidak ada tertrukturnya dia, sehingga mengatur dan mengendalikannya bukanlah perkara mudah. Ada kecenderungan bahwa anggota tubuh kita yang satu ini lebih dominan dan aktif dibandingkan yang lain: tangan, kaki, kepala atau telinga.

Ketika tangan memberi satu kali, maka lisan terkadang sudah mengeluarkan woro-woro tentang pemberian itu 10 kali lipat banyaknya; ketika kaki baru lima langkah menuju mesjid, bisa jadi lisan kita sudah berbicara 50 kata dengan kawan kita yang bertemu di jalan, yang kadang kadang isinya berbau riya, ghibah dll;

Juga, ketika ngobrol pun, saat telinga kita baru menangkap lima kalimat dari lawan bicara, kadang lisan kita dengan tak sabar langsung menyambar berbicara dan lupa untuk  mendengarkan isi pembicaraan lawan bicara.

Hal itu bisa terjadi, karena ketika orang lain berbicara, telinga kita  bukannya mendengarkan dan mencoba memahami apa yang didengarnya, tapi justru kepala kita sibuk memikirkan apa yang akan diucapkan. Sehingga yang terjadi adalah bukan sebuah komunikasi yang fair, dua arah, tetapi yang satu mendominasi yang lain. Ibarat main pingpong, yang satu hanya peduli bagaimana memasukkan bolanya ke meja lawan tanpa mau serius menerima dan menangkis bola yang diterimanya.

Kalau sudah begitu, maka yang terjadi adalah bukan lagi sebuah ôgameö yang menyenangkan karena tidak ada lagi aspek ôplayfulö dan ôfun.ö Dan, bahkan dengan permainan seperti itu, bukan saja tidak menyenangkan dan membosankan tapi juga sesungguhnya kemungkinan besar dia pun akan kalah.

Berbicara memang lebih mudah daripada mendengarkan. Karena ketika berbicara kita cenderung untuk melepaskan ego, sedangkan ketika mendengarkan, kita harus menahan dan mengendalikan ego.  Sehingga ada pepatah mengatakan ôBig egos have little ears,” orang yang egonya besar, memiliki telinga kecil.

Tentu saja telinga kecil disini tidak untuk dimaknai literal, namun untuk menunjukkan kekikiran atau keengganan orang yang berego besar untuk membuka telinganya untuk mendengar orang lain. Saking lebih bernilainya mendengar daripada berbicara, dikatakan bahwa kalau  berbicara itu perak, maka  mendengarkan itu adalah emas.

Namun, ada juga mendengar tapi sesungguhnya tidak mendengar, dalam bahasa Inggris dibedakan antara ôhearing dan listeningö. Hearing  adalah mendengar tanpa ada kesungguhan untuk memahami apa yang didengarnya, sedangkan listening  adalah mendengar dengan kesungguhan dan bukan basa basi.

Tentu saja tidak mudah untuk menjadi pendengar yang baik dan sungguh-sungguh karena  untuk itu dibutuhkan kerendahan hati, kesabaran dan sikap empati yang tinggi. Selain itu, bukan perkara mudah memahami apa yang didengar karena sesungguhnya setiap kepala itu memiliki ôduniaö sendiri yang juga kompleks.

Karena kompleksitas urusan ômendengarö ini, pantaslah kalau seorang filosof Jerman, Erich Fromm, pada  tahun 1994 menulis buku ôthe Art of Listeningö  atau seni mendengarkan.

Tulisan ini tidak untuk menganjurkan kita puasa berbicara. Namun ini hanya sekedar tadzkirah  atau upaya mengingatkan betapa cenderung mudahnya kita untuk berkata tapi sulit untuk mendengar; betapa mudahnya  kita mengomentari tapi merasa tidak nyaman untuk dikomentari apalagi isinya kritik atau saran.

Berbicara memang merupakan bagian dari aktivitas keseharian kita yang sulit dihindari. Namun, yang bisa dihindari adalah berbicara yang menyakiti atau membawa kemadharatan atau berbicara sesuatu yang tak perlu atau idle talk .

Pepatah Arab mengatakan “khairul kalam maa qalla wa dalla” (sebaik baik perkataan adalah yang sedikit tapi jelas dan bermanfaat). Semoga puasa kita bisa menjadi perisai bagi lisan, telinga dan hati kita.