Indeks Kebahagiaan

 

Oleh: Komaruddin Hidayat

BISAKAH kebahagiaan yang bersifat subjektif-kualitatif diukur lalu dikuantitatifkan? Dengan bantuan ilmu psikologi dan statistik, para sarjana telah mencoba melakukan pengukuran, antara lain melalui wawancara.

Sepanjang yang merasakan derita dan bahagia itu manusia, sesungguhnya bisa digali, diajak dialog, dan secara statistik bisa diukur lalu diperbandingkan. Hanya saja mesti diingat bahwa kebahagiaan seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama yang dianut seseorang.

Namun dari semua masyarakat yang hendak disurvei, di sana terdapat kemiripan faktor yang mendukung kebahagiaan seseorang. Misalnya kebutuhan rasa aman, lingkungan sosial yang jujur, tempat tinggal, lapangan kerja, penerimaan sosial, kesehatan, pendidikan dan pandangan optimistik melihat masa depannya.

Terdapat dua masyarakat atau negara yang dilaporkan paling bahagia saat ini, yaitu Buthan dan Norwegia, dua masyarakat yang memiliki budaya dan agama yang berbeda. Buthan adalah kerajaan kecil dengan luas wilayah 38.394 km persegi, berpenduduk sekitar 750.000 jiwa. Sebuah masyarakat agraris, pemeluk Buddha yang sangat setia. Income per kapita sekitar USD2.730. Letaknya berdekatan China, India, dan Nepal, serta berada di lereng Pegunungan Himalaya.

Berdasarkan World Happiness Report (WHR) 2017, dari 155 negara yang diurvei, Norwegia dinyatakan sebagai bangsa yang paling bahagia di dunia. Menyusul di bawahnya adalah Denmark, Iceland, Switzerland, dan Finlandia. Kesemuanya tergolong negara kecil dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta, bahkan kurang.

Norwegia letaknya di semenanjung Skandinavia, bertetangga dengan Swedia, Finlandia, dan Rusia, dengan luas wilayah 385.525 km persegi serta berpenduduk sekitar 5 juta jiwa. Alam Norwegia sangat kaya, memiliki cadangan minyak bumi, gas alam, mineral, makanan laut dan air segar yang melimpah di bawah pemerintahan seorang raja. Pendapat per kapita sekitar USD54.397.

Beberapa aspek yang dijadikan kriteria mencakup rasa aman, sikap tolong-menolong, kedermawanan, kejujuran, pemerintahan yang melindungi dan melayani, ketersediaan lapangan kerja, emosi positif warganya, bebas dari rasa tertekan dan eudaimonia atau perasaan hidup bermakna dan memiliki tujuan yang jelas.

Warga Amerika Serikat, misalnya, meskipun secara ekonomi tinggi dan maju, tingkat kebahagiaan rakyatnya menurun. Berbagai ancaman terorisme dan dinamika politik serta ekonomi yang fluktuatif telah mengurangi rasa aman dan bahagia warganya.

Indeks kebahagiaan China pun menurun. Suasana hidup yang penuh kompetitif dalam ekonomi dan politik, memang telah menciptakan kegaduhan. Restless, noicy. Kondisi demikian kurang, atau tidak, dirasakan masyarakat negara-negara kecil yang menempati peringkat kebahagiaan tinggi.

Sebagai pemeluk Buddha, masyarakat Buthan bahkan diajari konsep detachment. Hidup merdeka, tak mau terbelenggu oleh nikmat dunia. Bahkan warga Buthan diajarkan untuk selalu berbuat baik dan mengingat mati sebagai jalan pembebasan.

Dalam konstitusi Buthan tertulis, yang dalam bahasa Inggris berbunyi: If the government cannot create happiness for its people, then there is no purpose for government to exist. Makanya cukup populer ungkapan Khesan Namgyel Wangchuck, Raja ke-5 Buthan, yang menegaskan bahwa Gross National Happiness (GNH) lebih penting dari Gross National Product (GNP).

Jika diskusi ini dibawa ke ranah bangsa dan masyarakat Indonesia, bagaimana potretnya? Dalam WHR 2017 ini, Indonesia menduduki peringkat ke-81.

Sebagai negara besar dan yang penduduknya tersebar ke sekian banyak pulau dengan beragam tradisi, agama, sumber ekonomi, dan pekerjaan, sudah pasti tidak bisa disajikan secara utuh dan mudah potret kebahagiaan warganya sebagaimana negara-negara yang penduduknya di bawah 5 juta dan menempati daratan yang sama.

Jika diambil rata-rata secara nasional, income per kapita rakyat Indonesia sekitar USD3.500. Tapi pada kenyataan di lapangan, ada yang di atas USD25.000 dan ada yang di bawah USD1.000. Pemerataan masih jauh untuk diwujudkan dan dinikmati.

Belum lagi bicara ketersediaan lapangan kerja, rasa aman, dan optimisme memandang hari depan, suasana batin masyarakat Indonesia pun diliputi rasa ketidapkastian (uncertain). Suasana keterbukaan dan persaingan antarbangsa dan negara telah menimbulkan dorongan untuk maju, tetapi juga perasaan tertinggal dan terancam, bahkan sebagian merasa sebagai warga negara yang kalah.

Di tengah ekspansi ekonomi dan pengaruh budaya asing yang semakin gencar, sesungguhnya masyarakat Indonesia memiliki tradisi dan modal untuk merasa bahagia. Setidaknya terdapat empat faktor yang pantas disyukuri.

Pertama, alam Indonesia yang indah sehingga untuk melihat dan menikmati alam tak perlu pergi rekreasi jauh-jauh dan mahal. Bandingkan saja dengan mereka yang tinggal di alam yang panas dan gersang. Di sini terdapat laut, pantai, sawah, sungai, gunung, hutan, pedesaan yang membuat bangsa lain iri.

Kedua, tradisi hidup komunalisme. Berbeda jauh dari masyarakat barat, masyarakat kita masih memiliki hubungan kekerabatan yang kuat, baik atas dasar suku, marga, famili maupun kedaerahan.

Sekarang ini dengan ditemukannya media sosial berbasis internet, hubungan kekerabatan dan pertemanan lama mudah terjalin kembali. Sering sekali ada acara reuni teman sekolah atau sedaerah yang difasilitasi dengan WhatsApp untuk mengumpulkan teman-teman lama. Secara psikologis forum ini membuat para peserta merasa bahagia, terhibur, membuang lelah dan jenuh dari rutinitas kerja.

Ketiga, tradisi humor. Coba saja perhatikan, betapa kayanya tradisi humor dan candaan di tengah masyarakat kita. Berbagai problem hidup yang pahit bahkan bisa dan sering diolah menjadi bahan humor dan parodi, sehingga menjadi semacam katarsis sosial.

Jika ditelusuri ke belakang, kekayaan humor mungkin berkaitan dengan kekayaan dan keragaman suku yang dulunya hidup secara komunal, dalam lingkungan alam dan sosial yang nyaman, sehingga masyarakatnya menjadi santai, tidak mesti kerja keras yang pada urutannya mengondisikan untuk senang bercanda.

Keempat, aspek ini mungkin yang sangat besar perannya dalam membuat seseorang tahan uji dan sabar menjalani kehidupan. Yaitu faktor agama.

Meskipun secara ekonomi Indonesia kalah jauh dibanding Norwegia atau Jepang, tapi angka bunuh diri sangat kecil. Jumlah angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat merupakan salah satu indikator kerentanan jiwa ketika diterpa masalah hidup.

Masyarakat Indonesia yang dikenal religius, apapun agama dan kepercayaannya, mempunyai peran sangat besar pada pemeluknya untuk selalu bersabar ketika musibah dan senantiasa bersyukur menerima anugerah Tuhan, termasuk anugerah kehidupan ini.

Banyaknya mimbar pengajian keagamaan melalui televisi, radio, di tempat ibadah dan dalam masyarakat sudah pasti memperkuat dan menginspirasi mental masyarakat untuk merayakan kehidupan dengan memperbanyak amal kebajikan dan menjaga silaturahmi. Keduanya ini menimbulkan eudaimonia, yaitu perasaan hidup bermakna, memiliki tujuan hidup dan harmoni sosial. []

KORAN SINDO, 8 September 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Mengapa Berumah Tangga

Oleh: Komaruddin Hidayat

MESKIPUN jumlah penduduk bumi semakin bertambah dari hari ke hari, tidak berarti hidup seseorang merasa kian hangat karena banyak teman. Sebaliknya, kita sering mendengar ungkapan paradoksal, sepi dalam keramaian.

Yang demikian bisa terjadi ketika seseorang tidak memiliki teman dekat yang cocok dan saling mencintai, terutama teman hidup lawan jenis yang bisa menciptakan suasana batin, to love and to be loved, saling merasa mencintai dan dicintai. Akan lebih kuat lagi ketika perasaan batin itu dikukuhkan dalam ikatan perkawinan dengan mengikuti petunjuk dan pedoman agama sehingga menjadi lebih sakral.

Secara psikologis dan memperhatikan isyarat Alquran (30:21), dorongan orang berkeluarga itu untuk mendapatkan hidup sakinah dan memperoleh keturunan. Sakinah artinya tenang, tenteram dan nyaman, yang di dalamnya tumbuh mawaddah dan rahmah.

Yang pertama, mawaddah, dalam istilah psikologis mungkin bisa dimaknai sebagai conditional love. Yaitu, orang mencintai dan memilihnya sebagai sebagai pasangan hidup karena adanya beberapa pertimbangan, misalnya karena kecantikan atau ketampanannya, agamanya, asal-usul keluarganya, kemampuan finansialnya, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, mawaddah artinya “cinta karena”. Orang memilih pasangan hidup pada tahap awalnya lebih dominan dimensi “cinta bersyarat”.

Bersama jalannya waktu, diharapkan tumbuh rahmah, cinta kasih yang tulus, senantiasa ingin memberi, atau unconditional love, “cinta tanpa syarat”, atau “cinta walaupun”. Orang tua memiliki kiasan, rumah tangga itu bagaikan tempat berlabuh. Tentu ungkapan ini muncul dari masyarakat maritim atau pelaut. Mereka merasakan sebuah risiko perjalanan laut yang setiap saat bisa dihantam ombak.

Ketika siang hari udara panas. Ketika datang malam suasana gelap. Ikan yang diburu pun tidak selalu berhasil ditangkap. Kalau badan dan pikiran sudah letih, yang dirindukan adalah pantai tempat berlabuh untuk memperoleh suasana rileks, aman, dan nyaman.

Begitulah mestinya sebuah kehidupan rumah tangga, menjadi tempat yang membuat aman, nyaman, damai dan merdeka bagi semua anggota kekuarga begitu masuk rumah. Saat ini sesungguhnya kehidupan di darat tidak kalah bahaya dan penuh risiko dibanding kehidupan di laut bagi para nelayan.

Persaingan dan perebutan yang keras terjadi hampir di semua lini kehidupan sehingga membuat suasana hostile, hurried, dan humourless. Di mana-mana muncul suasana permusuhan, hidup serba buru-buru, dan suasana rileks, humor, jadi barang yang mahal.

Nabi Muhammad memberikan kiasan rumah tangga itu bagaikan taman surgawi, baiti jannati. Kiasan ini tentunya karena pengaruh gersangnya alam padang pasir, yang selalu merindukan taman hijau, rindang, dan tempat bermain. Demikian juga kehidupan keluarga, idealnya adalah bagaikan taman tempat santai, rileksasi, menghilangkan semua beban dan ketegangan hidup.

Tetapi pada kenyataannya kehidupan keluarga tidak selalu indah dan seideal yang dibayangkan setelah seseorang menjalin perkawinan dan membangun rumah tangga. Namun begitu, kita juga menyaksikan banyak sekali keluarga yang bahagia, mereka sukses mengalahkan dan menjinakkan berbagai problem dan tantangan yang menghadang.

Banyak pasangan yang berhasil meraih status rahmah, yaitu cinta tanpa syarat, terutama sering kita jumpai dalam pasangan tua. Mereka tetap kokoh saling mencintai “walaupun” usia sudah lanjut, “walaupun” kondisi fisik tak lagi menarik, “walaupun” sakit-sakitan, dan sekian “walaupun” lainnya.

Namun perlu dicatat bahwa pohon cinta yang akarnya menghunjam, daunnya rindang dan buahnya lebat bukan datang dengan sendirinya. Tetapi mesti dipupuk, dirawat dan dijaga oleh pasangan suami-istri. Suatu usaha yang mulia namun kadang terasa berat sehingga ada juga pasangan yang putus di tengah jalan, karena berbagai faktor, mengingat jalinan suami-istri tak ada yang terbebas dari berbagai cobaan dan godaan.

Yang namanya kehidupan rumah tangga selalu saja muncul masalah-masalah baru yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya, sampai-sampai muncul ungkapan populer, It is easy to build a house, but not a home.

Bagaimana halnya dengan keturunan? Ini juga anugerah sekaligus ujian. Sering kita temukan orangtua prihatin dan merasa kurang beruntung karena tidak punya keturunan, namun tak sedikit orangtua yang mengeluh dan pusing karena problem anak-anaknya.

Perubahan sosial yang berlangsung sedemikian cepat tanpa dibarengi edukasi publik telah membuat banyak masyarakat bingung, tidak tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Orangtua selalu dibayangi rasa was-was, khawatir dan takut terhadap anak-anaknya, baik khawatir dari segi keamanan, pengaruh narkoba, perkelahian, pergaulan bebas, dan berbagai sumber kekhawatiran lain, termasuk pengaruh gerakan radikalisme-terorisme.

Pendeknya para orangtua dan guru saat ini dihadapkan problem yang semakin berat dalam mendidik anak-anak dan remaja. Belum lagi banyak remaja yang memandang pesimistis terhadap masa depan mereka.

Salah satu sumber harapan dan optimisme dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas keluarga dan masa depan generasi penerus adalah senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama, pada tradisi luhur, memiliki pendidikan yang bagus, memilih lingkungan pergaulan yang berkualitas, memberi asupan yang bergizi dan halal.

Berbagai problem yang menghadang janganlah dihindari, tetapi dipahami dan diatasi karena sesungguhnya problem kehidupan itu justru mengajarkan pada kita agar tumbuh menjadi pribadi lebih kuat dan lebih bijak. []

KORAN SINDO, 25 Agustus 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Sakral dan Profan

Oleh: Komaruddin Hidayat

KEDUA istilah di atas, sakral dan profan, lazim dijumpai dalam berbagai kajian ilmu sosial, filsafat, dan agama. Secara populer sakral artinya suci, disucikan, atau dianggap suci, sedangkan profan bermakna sebaliknya. Contoh paling sederhana, ada dua buku tebal, yang satu kitab suci, satunya lagi buku akademis.

Buku pertama dianggap sakral, yang lain profan. Tentu saja sakralitas sebuah entitas berkaitan dengan kepercayaan dan iman seseorang. Kitab Injil dan Alquran bagi pemeluk Nasrani dan Islam diyakini sakral sehingga disebut kitab suci, tetapi bagi orang ateis dianggap profan.

Bagi muslim, bangunan Kakbah dan batu hitam (hajar aswad) yang melekat di tembok Kakbah, Mekkah, dianggap sakral, suci, bukan bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut baitullah dan hajar aswad itu simbol tangan Tuhan.

Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik Allah ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit dan bumi seisinya adalah milik Allah.

Di situ terkandung konsep sakral, sesuatu yang dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karena semua bangunan masjid oleh umat Islam juga disebut tempat suci. Tempat ibadah agama lain, misalnya gereja, juga dipandang sebagai tempat suci. Tempat khusus untuk memuji Tuhan.

Contoh lain yang sakral dan yang profan misalnya gerakan salat dan senam. Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi senam tubuh diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan.

Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya.

Bangunan masjid, misalnya, sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen keagamaan.

Begitu pun bahasa Arab adalah bahasa budaya. Tapi ketika dipinjam atau dipilih Tuhan untuk mewadahi wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bahasa Arab itu lalu disakralkan. Terjadi sakralisasi budaya.

Tapi proses sakralisasi ini kadang melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.

Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah, padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya.

Jadi bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler, duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang masuk ranah budaya.

Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah.

Meski begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci. Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat. []

KORAN SINDO, 18 Agustus 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Reason in History

 

Oleh: Komaruddin Hidayat

JIKA sejarah diibaratkan panggung yang senantiasa berjalan tak kenal henti, aktor yang tampil di panggung sejarah ini silih berganti, sambung-menyambung baik pada konteks individu maupun generasi, entah sampai kapan kehidupan berlangsung, kita tidak tahu.

Setiap menit terjadi peristiwa kelahiran dan kematian, namun jumlah kelahiran rupanya lebih banyak ketimbang yang pamitan undur diri, sehingga jumlah manusia di muka bumi terus membengkak dan bertambah. Diperkirakan hari ini tidak kurang dari enam miliar manusia berada bumi.

Setiap pribadi dan generasi memiliki peran dan tantangan masing-masing. Ada di antaranya yang kreatif menciptakan teknologi dari bentuknya yang sangat sederhana, seperti halnya tongkat, lalu dikembangkan oleh generasi berikutnya dalam aspek bahan, bentuk, dan gunanya sehingga saat ini setiap bangunan mesti ada unsur tongkat sebagai penyangganya.

Inovasi yang juga abadi adalah teknologi roda. Mungkin dulu bentuk, bahan dan gunanya sangat simpel untuk ukuran sekarang.

Tetapi bayangkan dan amati, andaikan tak ada teknologi roda, maka sekian ragam kendaraan, mulai sepeda ontel, motor, mobil, hingga pesawat terbang pasti tidak akan berkembang seperti yang kita saksikan dan nikmati hari ini. Bahkan fungsi roda masuk ke sekian ragam produk teknologi, mulai jam tangan yang kecil dan rumit sampai dengan kursi, lemari, dan meja, banyak yang menggunakan jasa roda.

Masyarakat modern tinggal menikmati dan mengembangkan warisan teknologi roda, sampai-sampai ada ungkapan: We should not reinvent the wheel.

Demikianlah, sejarah manusia telah menciptakan dan mewariskan sangat banyak temuan dan percobaan dalam berbagai bidang, baik dalam bidang sains, teknologi, pranata sosial, sistem politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun paham keagamaan.

Jika direnungkan, dalam perjalanan sejarah itu ada kekuatan logos dan reason yang ikut berperan mengarahkan jalannya kebudayaan. Di sana terdapat daya dan kekuatan penalaran logis yang selalu menyertai perjalanan dan pengembaraan manusia di muka bumi ini.

Pikiran waras lebih dominan ketimbang yang sakit. Sekalipun sering muncul drama dan episode konflik serta peperangan yang digerakkan dan digelorakan oleh nafsu atau emosi untuk menghancurkan yang lain, namun akal sehat akan tampil mengutuk, mengerem, dan menata kembali lakon sejarah yang berantakan dan berdarah-darah.

Misalnya saja, sadar dan menyesali akibat tragedi Perang Dunia (PD) I dan PD II yang mengerikan itu, maka akal budi memandang sangat urgen untuk membentuk Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna menata dan menjaga perdamaian dunia. Akibatnya jumlah peperangan di dunia semakin mengerucut jumlahnya, sekalipun tidak mungkin kerusuhan dan peperangan dihilangkan seluruhnya.

Begitu pun berbagai pranata atau institusi sosial sejak dari model pemerintahan sebuah negara sampai tingkat pemerintahan desa, semuanya itu produk inovasi dan evolusi penalaran akal budi manusia yang berkembang dari zaman ke zaman, tujuannya adalah bagaimana menciptakan keteraturan, keselamatan, dan kedamaian hidup masyarakat. Misalnya ide dan sistem demokrasi, teori dan praktiknya senantiasa berkembang dalam sejarah.

Sekali lagi, ini merupakan produk penalaran kolektif masyarakat yang berlangsung secara evolutif dari generasi ke generasi, dan ketika penalaran itu menjadi sebuah teori yang baku maka teori itu kemudian mengarahkan perilaku sosial masyarakat, bahkan sekarang berkembang artificial intelligence dan robot sebagai ekstensi cerdasan manusia.

Dengan mengamati semua ini, terlihat jelas adanya the power of reasoning in history, yang berkembang dan bekerja lintas generasi, bangsa, dan agama. Kekuatan ini bekerja secara otonom, invisible power, melahirkan hubungan dialektis antara manusia sebagai aktor dan hukum sejarah yang bersifat impersonal. Makanya ada istilah the iron law of history. Hukum besi sejarah.

Bagi yang percaya terhadap the reason in history, mereka akan memandang hidup lebih optimistis. Bahwa proses kehidupan ini bergerak semakin membaik dan naik bagaikan spiral.

Tetapi bagi yang kalah, mungkin mereka akan berpandangan sebaliknya. Bahwa hidup ini kian turun kualitasnya. Tanda bahwa kiamat sudah dekat. Perbedaan cara pandang itu muncul karena perbedaan mindset kepercayaan masing-masing pribadi. []

KORAN SINDO, 4 Agustus 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Guru yang Menginspirasi

 

Oleh: Komaruddin Hidayat

SEWAKTU belajar di pesantren, ada ungkapan kiai yang selalu saya ingat. Menurutnya, metode mengajar itu tak kalah penting dari materi yang hendak diajarkan. Namun guru yang baik jauh lebih penting daripada materi pelajaran dan metode pengajarannya. Jadi sosok guru merupakan aktor terpenting bagi suksesnya sebuah proses pembelajaran dan pendidikan.

Guru bagaikan aktor atau aktris yang setiap hari tampil untuk dilihat, didengarkan, dan ditiru tutur katanya. Makanya sebaik apa pun konsep kurikulum yang dihasilkan pemerintah, kalau kualitas gurunya tidak berkualitas, sasaran dan target pendidikan tidak akan tercapai.

Statemen ini telah dibuktikan Pemerintah Finlandia yang menerapkan rekrutmen calon guru sangat ketat hingga mengantarkan negara ini berada paling tinggi dalam bidang pendidikannya. Pelamar calon mahasiswa terbanyak adalah pada fakultas keguruan.

Makanya tenaga pengajar di sana adalah putra-putri terbaik bangsanya. Mereka bekerja sebagai pendidik tidak direcoki berbagai urusan birokrasi. Sebaliknya mereka mendapatkan kebebasan berinovasi berdasarkan riset secara kontinu.

Dalam berbagai forum pelatihan guru, saya sering membagikan kertas kepada para peserta untuk menuliskan nama guru dan sekolahnya yang telah memengaruhi kualitas dan jalan hidup mereka. Siapakah guru-guru yang memberi inspirasi, motivasi, dan teladan yang masih terkenang meskipun sudah belasan tahun tidak pernah berjumpa.

Setelah dituliskan, mereka lalu saya minta berbagi cerita di hadapan peserta. Dari sekian pengalaman memberi pelatihan guru, guru-guru yang baik setidaknya memiliki empat ciri.

Pertama, mereka menguasai materi yang hendak diajarkan. Kedua, pandai memilih metode yang tepat agar mudah dipahami siswa serta tidak menjemukan. Ketiga, membangkitkan imajinasi dan motivasi siswa untuk berani bermimpi tentang masa depan. Keempat, mengajar dengan cinta.

Sewaktu menjadi mahasiswa, saya pernah diajar oleh seorang dosen yang rajin membaca. Koleksi bukunya banyak. Namun ketika memberi kuliah, mahasiswa sulit memahaminya.

Mungkin ini disebabkan miskin metode. Kurang kreatif dan terampil membuat hal-hal yang rumit menjadi simpel tanpa kehilangan substansinya. Dia pintar untuk diri sendiri, tetapi kurang pandai memintarkan mahasiswa.

Sebaliknya, saya pernah bertemu dengan dosen yang bacaannya tidak kaya, tetapi pintar meringkaskan isu yang sulit, lalu mengembangkannya dengan contoh-contoh yang familier dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, dosen dan guru yang baik adalah yang menguasai keduanya.

Para psikolog mengatakan, usia pelajar itu disebut formative years. Masa pembentukan pribadi. Kalau pada usia mereka menemukan lingkungan dan guru yang bagus, yang memiliki empat kriteria di atas, umumnya ketika masuk kuliah mereka akan meraih prestasi yang bagus.

Berdasarkan pengamatan saya di lingkungan Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mahasiswa dan alumni yang prestasinya menonjol dan berhasil menempuh program doktor di universitas ternama di dunia umumnya mereka datang dari lingkungan pendidikan yang bagus. Bahkan banyak di antara mereka yang berasal dari dunia pesantren atau mirip boarding school.

Di pesantren tumbuh budaya cinta ilmu dan hidup sederhana dalam suasana persaudaraan. Tak dikenal berantem antarsiswa. Ada suatu prinsip, attitude above knowledge.

Para siswa begitu hormat dan santun kepada guru. Nilai dan tradisi ini justru sangat kuat berakar dalam masyarakat Jepang. Sementara kultur semacam ini saat ini semakin menurun di lingkungan sekolah kita pada umumnya.

Dengan munculnya media sosial (medsos), anak-anak dan masyarakat memiliki hobi baru, yaitu berkomunikasi lewat Twitter atau WhatsApp. Lewat medsos, berbagai macam informasi mudah didapat. Mereka terlibat diskusi dan perdebatan lewat medsos tanpa kedalaman, yang menonjol justru sikap like or dislike, bukannya right or wrong.

Di sana juga ada nilai dan tradisi yang hilang, yaitu sopan santun, layaknya dialog guru-murid, dalam perjumpaan tatap muka. Makanya jangan heran, isi dan komunikasi di medsos sering kali penuh caci maki. Tak ada jenjang tua dan muda. Semuanya merasa sama dan bebas menulis apa saja.

Di lingkungan sekolah, terlebih lagi dengan sistem boarding, mesti ditumbuhkan budaya sekolah (school culture) yang membiasakan diri menghormati keunikan pribadi masing-masing. Setiap anak adalah istimewa, maka biasakan menghargai perbedaan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan universal.

Semua itu sulit diwujudkan kalau tak ada jalinan cinta kasih antara guru-murid, antarsesama murid, dan antarsemua komunitas sekolah. Mengajar tanpa cinta tak akan membekas dalam sanubari anak didik.

Allah pun mengutus para rasul-Nya karena cinta kepada makhluknya. Sekalipun seorang guru menguasai materi dan metode yang hendak diajarkan, jika masuk kelas tanpa hati, bekasnya tak akan mendalam.

Bila guru melibatkan hati dalam mengajar, murid juga akan melibatkan hati dalam menerimanya. Guru yang baik tidak sekadar terpaku untuk transfer pengetahuan, tapi yang menebarkan cinta kasih dan menginspirasi anak didiknya. []

KORAN SINDO, 28 Juli 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

The Fallen Creature

Oleh: Komaruddin Hidayat

ADA pandangan teologis bahwa manusia itu bagaikan makhluk yang terjatuh (the fallen creature). Terusir dan terlempar dari alam surgawi karena menentang titah Ilahi sehingga manusia mesti menebusnya dengan hidup sengsara di muka bumi.

Kehidupan duniawi adalah sebuah rangkaian pencarian dan pendakian jalan pulang kembali ke alam surgawi yang penuh derita. Kelahirannya diawali dengan jeritan tangis, ujungnya adalah kekalahan ketika dihadapkan pada misteri kematian yang menakutkan. Di tengahnya adalah sebuah ketidaktahuan dan ketidakpastian.

Hatinya selalu dihinggapi perasaan harap-harap cemas. Berharap semoga menemukan cahaya terang dan jalan kemudahan untuk bisa kembali ke alam surgawi, tapi juga selalu cemas karena setiap langkahnya mengandung spekulasi tidak memberi jaminan kepastian. Trial and error.

Dalam pandangan teologis ini, kalau saja bukan karena kasih dan maaf dari Tuhan, maka hidup ini tak lebih sebagai rangkaian penderitaan yang sekali-sekali diselingi senyum kegembiraan. Kalau bukan kasih dan ampunan Tuhan yang kemudian mengutus rasul-Nya sebagai guru dan penggembala agung, maka manusia akan melihat dunia sebagai titik alpa dan omega.

Titik awal dan akhir yang dihubungkan dengan tali usia sangat pendek untuk ukuran individual. Kita tidak cerita apa sebelum dan sesudah kehidupan ini.

Jarak antara lahir dan mati bagaikan jarak tempuh dalam sebuah rumah singgah, masuk pintu depan, istirahat dan bermain sebentar di ruang tengah, lalu keluar pintu belakang. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kaum atheis yang berpandangan pesimis mengatakan, hidup itu bermula dari kejatuhan dan berakhir pada kekalahan.

Namun, bersyukurlah bagi orang beriman, Tuhan maha pengasih dan pemaaf. Kehadiran manusia diyakininya bukan sebuah kutukan, melainkan sebuah ziarah untuk memakmurkan bumi dan menikmati indahnya ciptaan Tuhan.

Sebuah ziarah sambung menyambung lintas generasi dengan mandat yang amat mulia. Khalifah Allah di muka bumi. Manusia sebagai mandataris Tuhan mengingat kualitas dan posisinya paling unggul di tengah seluruh makhluk-Nya.

Meski posisinya sangat mulia, manusia tetaplah manusia. Sebagaimana kita sadari dan alami, hidup ini tak pernah terbebas dari dosa dan kesalahan. Bahkan, tak ada hari tanpa berbuat kesalahan.

Hanya saja ada kesalahan dengan akibat yang kecil, ada yang besar, dan fatal. Kesalahan atau kelengahan orang mengendarai sepeda, risiko dan akibat yang ditimbulkan jauh berbeda jika kesalahan serupa dilakukan seorang pilot. Kesalahan membuat keputusan yang dilakukan rakyat biasa, akibat yang muncul sangat jauh berbeda jika tindakan serupa dilakukan seorang presiden.

Masih dari sudut pandang teologis, salah satu asma Allah adalah pemaaf, pengampun, dan penerima taubat. Pasti Allah maha tahu bahwa manusia makhluk yang lemah, mengingat Allah sendiri yang mendesain dan menciptanya. Manusia tak pernah absen dari berbuat salah.

Bahkan, Adam sendiri terusir dari alam surgawi akibat kesalahan yang dilakukan. Karena itu, Allah selalu membuka pintu maaf dan taubat. Bayangkan, andaikan tak ada pintu maaf, maka hidup benar-benar sebuah rangkaian kutukan dan derita. Life is a terrible joke. Hidup itu guyonan yang mengerikan.

Begitu pun dalam kehidupan sehari-hari, andaikan tak ada kata maaf, maka yang terjadi adalah sebuah panggung perseteruan, baik vertikal maupun horizontal. Baik antarpribadi maupun kelompok. Baik antarpejabat dan rakyat. Muncul jarak menganga menimbulkan rasa nyeri di hati setiap tersentuh atau bertemu orang yang pernah menyakiti.

Karena itu, Tuhan selalu memuji pada orang yang suka memaafkan. Memaafkan itu sebuah sumber energi bisa mendekatkan hati yang berjauhan. Menyembuhkan luka yang tergores. Memperindah kehidupan dan membuat ringan beban hidup sehingga kita bukannya makhluk yang terlempar di bumi yang terkutuk, melainkan sebuah ziarah mesti dirayakan. []

KORAN SINDO, 21 Juli 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Politik dan Pasar Bebas

Oleh: Komaruddin Hidayat

MUNCULNYA fenomena benua maya dan melahirkan a global network society yang cair serta tanpa batas menjadi tantangan serius bagi agenda pembangunan jati diri bangsa. Logika pasar dengan kalkulasi untung-rugi secara material sangat memengaruhi para pengambil kebijakan publik, termasuk lingkungan partai politik.

Bisa jadi sekelompok orang lebih merasa perlu pada paspor dan kartu kredit ketimbang kartu tanda penduduk (KTP). Jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara atau ikan menghajatkan air.

Menghadapi ini semua, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. They are very much attached to their land and families. Hal ini ditopang oleh kekayaan budaya, sumber alam, dan bahasa nasionalnya.

Menjadi persoalan dan juga agenda adalah bagaimana membangun kebanggaan berbangsa, terutama bagi generasi mudanya. Kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia.

Bangsa ini haus prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki. Namun, lagi-lagi yang mengemuka di media sosial, wacana politik merupakan isu paling dominan tapi tidak produktif, sementara biayanya tinggi.

Dunia politik telah terseret oleh arus pasar bebas, kepanjangan dari iklim kapitalisme global, seiring dengan sistem demokrasi liberal yang menjadi rujukan kehidupan perpolitikan Indonesia. Layaknya dalam pasar bebas maka terjadi kompetisi sengit antara kualitas produk yang dilempar ke tengah masyarakat sebagai calon pembelinya.

Tak terelakkan kadang terjadi kanibalisme politik seperti “handphone makan handphone” semata karena berbeda merek, berbeda pabrik, dan berbeda pemodalnya. Kompetisi bisa semakin mengeras setiap menjelang pilkada dan pemilu, meskipun banyak di antara mereka itu mengaku agamanya sama. Bahkan, elemen agama telah diseret ke dalam arus kompetisi sehingga menciptakan segregasi sosial yang dipicu oleh pilihan politik dan sentimen keagamaan.

Sebagaimana yang terjadi dalam pasar bebas, iklan pencitraan produk perannya dianggap sangat vital dan strategis. Maka, para politisi dan parpol ramai-ramai memasang iklan untuk membangun citra diri agar daya jualnya tinggi.

Tak mengherankan bila bermunculan profesi baru yang disebut konsultan politik dan survei politik untuk menjajaki selera pasar. Lebih dari sekadar menjajaki harga jual, para konsultan ini juga merekayasa dan memberi rekomendasi bagaimana seorang calon yang mau berlaga mesti bersikap dan berbicara di depan publik.

Lembaga konsultan ini ada yang serius, profesional, betul-betul ikut memikirkan kemajuan rakyat dan negara. Mereka ingin partisipasi membangun demokrasi yang rasional. Konsultan model begini yang mesti diapresiasi mengingat kalangan parpol kalau tidak dibantu konsultan ahli yang profesional hanya akan menambah daftar panjang kebangkrutan parpol.

Tetapi ada juga konsultan abal-abal yang tujuan utama dan pertama hanya cari uang, serta tidak segan-segan memanipulasi data. Pendeknya yang penting jagonya menang, sekalipun dengan cara curang dan ikut melakukan provokasi membangkitkan emosi massa.

Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmonisan berbangsa dan menyejahterakan rakyat. Ibarat atlet pelari maraton, politisi itu mesti bernapas panjang.

Berpikir lintas generasi demi kemajuan bangsa, bukan pelari jarak pendek yang hanya mengejar kemenangan pilkada, pemilu atau lolos jadi anggota DPR atau DPRD. Tetapi berapa banyak mereka yang tidak berprestasi, bahkan banyak yang kemudian masuk penjara akibat korupsi.

Andaikan toh politik telah menjelma menjadi semacam industri, masih dapat ditoleransi selama proses dan produk serta jasa yang dihasilkan mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi sejauh ini politik lebih sibuk dengan dirinya sendiri, menyedot APBN, tapi produk yang dihasilkan sangat mengecewakan. Mungkin ada benarnya kritik yang mengatakan bahwa pasar bebas yang menggusur tradisi gotong royong dan musyawarah mufakat perlu ditinjau kembali. []

KORAN SINDO, 14 Juli 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Memaknai Hari Lebaran

Oleh: Komaruddin Hidayat

KATA Idul Fitri mengandung dua makna. Pertama, kembali pada fitrah kesucian seseorang setelah sebulan berpuasa. Ini sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai sebuah doa. Semoga dosa-dosa diampuni dan dengan puasa memperoleh kekuatan serta komitmen baru untuk senantiasa menjaga kefitrian kita.

Kedua, kembali pada kebiasaan sebelumnya, yaitu pagi-pagi kita makan dan minum. Makanya Idul Fitri merupakan perayaan dan tasyakuran rohani dan jasmani sekaligus. Pada hari itu Allah melarang seorang mukmin berpuasa.

Dalam masyarakat Jawa khususnya, Idul Fitri dikenal dengan sebutan Lebaran. Lebar artinya rampung, usai; yaitu berhasil merampungkan perintah puasa.

Terdapat beberapa kata dan istilah yang serumpun dengan kata lebar (usai), yang memiliki spirit dan pengayaan arti dari Idul Fitri, yaitu luber. Maksudnya, perayaan Idul Fitri ditandai dengan jiwa luber, melimpah, yang diwujudkan dengan pelunasan zakat fitrah dan sedekah untuk menyempurnakan ibadah Ramadan.

Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, saudara atau teman, berbagai hidangan sudah tersedia. Kenangan waktu kecil dulu, ruang tamu seakan disulap jadi warung, menyediakan berbagai makanan yang tentu saja gratis.

Kata lain yang serumpun adalah lebur. Idul Fitri merupakan momentum seseorang untuk melebur ke dalam jaringan sosial yang penuh semangat perdamaian dan egaliter. Kita saling memaafkan dan menghargai sesama manusia yang pada dasarnya adalah baik.

Sikap lebur hanya dimungkinkan jika kita memiliki pandangan positif serta respek pada yang lain. Untuk ini diperlukan jiwa yang lebar atau luas.

Ini terlihat dan terasakan, ketika Idul Fitri tiba, jiwa kita menjadi lebar, lapang, karena sekat-sekat yang membatasi persaudaraan telah kita robohkan. Kita saling memaafkan dan mendoakan.

Dalam bahasa Sunda juga dikenal kata lubar, yang artinya lapang. Kalau semua itu kita wujudkan dengan sungguh-sungguh maka muncul istilah labur. Dalam masyarakat Jawa, labur berarti membuat pagar dan tembok menjadi putih kembali. Begitulah semangat Idul Fitri, semoga kita berhasil membuat hati, pikiran dan perilaku menjadi putih kembali.

Uraian singkat di atas sedikitnya menjelaskan sebuah realitas sosial keagamaan, bahwa Islam di Nusantara ini telah berbaur dengan tradisi lokal, keduanya saling mengisi dan memperkaya. Tentu saja sumber agama datang dari wahyu ilahi, sedangkan budaya adalah kreasi manusia.

Tetapi hubungan agama dan budaya, bagaikan hubungan ruh dan tubuh. Tanpa budaya maka pesan wahyu sulit dipahami dan diterapkan dalam sebuah masyarakat, atau ibarat pesawat tidak punya landasan untuk mendarat.

Bahkan, halalbihalal dan mudik Lebaran yang sedemikian kolosal saat ini menjadi acara khas Indonesia. Sebuah inovasi dan kreasi budaya keagamaan yang sangat jenius dan berhasil, bahkan telah menjadi bagian dari agenda negara.

Lebaran sepenuhnya agenda masyarakat tanpa minta APBN. Namun, pemerintah membantu memfasilitasi terhadap warga negaranya. Adapun ritual salat Id dan khotbahnya seragam di seluruh dunia. Namun, ekspresi kulturalnya berbeda-beda. Ini sebuah bidah budaya (cultural innovation) yang mesti kita apresiasi dan lestarikan.

Makanya kalau ada kelompok ekstremis yang menempatkan negara RI sebagai musuh agama, pemikiran itu jelas salah. Ajaran agama apa yang dilarang di Indonesia?

Agenda yang mendesak itu bagaimana memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan, menciptakan lapangan kerja, dan bersama-sama menjaga kedamaian. Bukan gerakan merobohkan Indonesia, lalu diganti dengan ideologi lain yang tak punya akar historis-politis di Indonesia. Itu hanya akan menciptakan segregasi dan perseteruan sosial yang sia-sia, bahkan menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebaikan apa yang mau ditiru dan diimpor dari krisis Suriah yang dimotori oleh ISIS? Yang ada hanyalah sebuah kehancuran dan kesengsaraan rakyat dan tercorengnya martabat Islam.

Sebagai pesan penutup, dengan datangnya Idul Fitri, yang berakhir itu puasa makan dan minum di siang hari. Adapun pesan puasa hati, pikiran, dan tindakan justru akan diuji setelah Idul Fitri, apakah kita berhasil menjalani training Ramadan ataukah gagal. []

KORAN SINDO, 23 Juni 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Komunalisasi Ruang Publik

Oleh: Komaruddin Hidayat

Menurut cita rasa bahasa, kata ‘Indonesia’ merujuk pada letak dan kondisi geografis, yaitu sederet pulau di lautan India, bukan menunjuk sebuah entitas bangsa. Pernyataan ini lebih mudah dipahami dengan membuat perbandingan, misalnya Turki, nama bangsa dan negaranya adalah identik. Atau bangsa dan negara Korea, keduanya juga identik. Sementara kata Indonesia jika dimaksudkan sebagai sebuah bangsa, yang namanya bangsa Indonesia masih dalam proses menjadi Indonesia atau mengindonesia. Sebuah cita-cita politik yang memerlukan perjalanan panjang dan berliku.

Melihat geneologi bangsa dan negara Indonesia, Indonesia merupakan proyek politik dari warga masyarakat serta pemimpin daerah yang tinggal dan tersebar di Nusantara ini untuk meraih kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. Indonesia merupakan rumah besar yang elemen-elemen bangunan dan kamar-kamarnya terdiri dari sekian ragam etnis, budaya dan agama yang sepakat tegak berdiri saling bergandeng tangan, saling menjaga dan memperkokoh yang lain.

Hidup berdaulat, merdeka dan sejahtera merupakan cita-cita dan tekad utama yang mendasari berdirinya Republik Indonesia. Oleh karena itu, moto Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar menggambarkan pluralitas suku, bahasa, dan agama penduduk Nusantara, tetapi sebuah janji dan komitmen politik yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan negara untuk melindungi serta memupuk pohon kebinekaan itu.

Wilayah yang diperebutkan

Moto Bhinneka Tunggal Ika dan kesepakatan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara juga merupakan bukti sejarah dan janji politik agar Indonesia tak dikuasai dan dimiliki ideologi primordial, komunal, dan kesukuan karena jika hal itu terjadi pasti Indonesia akan gaduh, kehilangan ruh dan mengingkari jati dirinya dengan ongkos sosial, ekonomi, dan politik teramat mahal.

Langkah paling logis dan strategis adalah memenuhi janji untuk menjaga keutuhan berbangsa serta menyejahterakan warganya secara merata karena merekalah pemilik sejati Tanah Air Indonesia. Pemerintah dan negara mesti menindak tegas serta menghalau terhadap predator dengan berbagai macam bentuk, rupa, kostum, dan modus yang merampas hak-hak rakyat serta mau menggergaji tiang negara.

Sejak dulu wilayah Nusantara ini memang selalu menjadi daerah yang diperebutkan (contested zone) oleh kekuatan asing. Kekuatan asing mana yang tidak tertarik untuk datang dan menguasai wilayah yang indah, makmur dengan sumber alamnya kaya raya ini?

Oleh karena itu, konsep Indonesia asli itu tidak mudah dicarikan akar tunggangnya secara otentik. Bahkan, agama-agama besar yang diakui oleh negara pun semuanya agama pendatang. Meminjam bahasa bisnis, semuanya adalah agama impor. Kalaupun ada agama asli Indonesia, barangkali berupa kepercayaan dan tradisi lokal yang masih bertahan di sejumlah daerah yang posisinya pun semakin tergusur. Akan tetapi, memang demikianlah yang terjadi, di tingkat global pun migrasi penduduk lintas bangsa, agama, dan negara semakin intens.

Hal ini bisa memperkaya peradaban sebuah bangsa, tetapi bisa juga malah menimbulkan persoalan baru, seperti ekses eksodus kurban peperangan di Timur Tengah yang mencari suaka ke Eropa. Sejumlah pelaku teroris diidentifikasi sebagai warga imigran.

Bangsa-bangsa yang dulu dikenal sebagai kapitalis, imperialis dan agresor nalurinya tidak akan pernah mati. Yang berubah adalah modusnya. Namun, mereka dihadapkan kenyataan sosial baru bahwa sekarang ini tak akan bisa sebuah bangsa dan negara untuk maju dan kaya sendiri. Dalam diplomasi luar negeri, kata kemandirian telah diubah menjadi kemitraan. Ketika ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi semakin mendunia, semua bangsa dipaksa untuk saling kerja sama dan menghargai hak-hak bangsa lain. Naluri imperialisme mesti berdamai dengan rasionalitas urgensi kerja sama antarbangsa. Kita hidup dalam global network society.

Urgensi kerja sama dan nafsu kompetisi ini mengingatkan kita pada teori Darwinisme sosial, survival of the fittest. Hanya mereka yang kuat dan fit memasuki lingkungan baru yang bisa bertahan dan berkembang. Kalau ada negara yang kaya sumber alamnya, tetapi tidak memperoleh perlindungan kuat, pasti akan jadi mangsa negara kuat yang agresif.

Ini sudah dan masih berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sampai-sampai muncul istilah a natural curse. Kekayaan sumber daya alam yang tidak memperoleh perlindungan dan pemanfaatan yang benar, akan berbalik menjadi sumber malapetaka. Alam mengutuk balik penghuninya. Lihat saja apa yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan beberapa daerah di Indonesia.

Yang menyedihkan adalah ketika terjadi persekongkolan kekuatan asing dan oknum-oknum dalam negeri sebagai komprador. Lebih menyedihkan lagi ketika oknum dalam negeri itu menggunakan instrumen negara untuk merusak dan merampok kekayaan rakyat dan negaranya sendiri.

Politik komunalisme

Perkembangan dan perubahan politik yang berlangsung sedemikian cepat, ditambah lagi pengguna media sosial (medsos) yang terus bertambah membuat masyarakat mengalami gegar ledakan informasi, bingung, tidak bisa membedakan antara berita sampah, hoaks, dan yang konstruktif-edukatif. Lewat medsos siapa pun punya peluang yang sama untuk menulis menyampaikan aspirasi dan opininya terhadap berbagai berita dan peristiwa yang terjadi.

Sedemikian penuh dan hiruk pikuk informasi dan opini di medsos sehingga komunitas netizen cenderung berpikir fragmentaris dan eklektik tanpa kedalaman. Bahasa medsos pun cenderung subyektif, like or dislike, bukannya salah atau benar berdasarkan kajian dan perenungan mendalam.

Suasana gamang dan insecure, mendorong seseorang untuk membangun afiliasi emosional dan imajiner dengan mereka yang memiliki gelombang emosi yang sama. Afiliasi emosional ini akan menjadi semakin kental ketika disatukan oleh kesamaan kepentingan dan identitas keagamaan sehingga pada urutannya menimbulkan crowd mentality. Mental kerumunan. Ketika tampil figur yang bisa menjadi lokomotif, komunitas netizen yang bermental kerumunan ini bisa muncul sebagai kekuatan riil meskipun hanya sesaat karena bukan himpunan massa yang organik.

Dalam sebuah pesta demokrasi, mental kerumunan ini mudah dikapitalisasi dan direkayasa untuk sebuah tujuan politik jangka pendek. Kehadiran medsos dan sosok pemimpin massa sangat instrumental untuk menjaring dan menggalang emosi yang sama dalam menentukan sikap politik massa, meskipun di situ tidak jarang terjadi proses manipulasi dan pembodohan.

Bahkan, organisasi semacam Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) pun sangat sadar dan piawai melakukan propaganda sampai cuci otak (brain washed) melalui medsos. Anak-anak muda yang tidak beruntung secara ekonomi dan dangkal wawasan pengetahuan agamanya menjadi sasaran empuk propaganda gerakan NIIS dan gerakan radikal sejenisnya.

Dalam konteks Indonesia yang penduduknya sangat beragam dan dari sisi pendidikan serta ekonomi masih banyak yang kurang beruntung, mereka mudah tertarik jika ada tawaran insentif berjihad mencari kemuliaan di jalan Tuhan dan janji-janji perbaikan nasib. Di antara janji-janji yang ditawarkan itu adalah mengganti ideologi dan sistem kenegaraan yang menerapkan demokrasi lalu diganti sistem kekhalifahan. Pancasila dan demokrasi itu pemerintahan taghut, berhala, kafir, mesti diganti. Atau setidaknya diterapkan sistem syariah, tetapi syariahmenurut pemahaman mereka.

Tema-tema itu pantas diragukan, jangan-jangan hanya jargon kosong dan pemikiran utopia karena yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan kekuasaan dan sumber daya ekonomi di kalangan elite yang kemudian mengkapitalisasi sentimen komunalisme etnis dan agama. Menjadi semakin complicated ketika kekuatan asing ikut bermain memperburuk suasana dengan melatih para aktivis radikal dan menyuplai kebutuhan finansialnya.

Jika asumsi dan dugaan di atas benar, kita mesti bersiap-siap mental mendekati Pemilu 2019 ini Indonesia akan semakin gaduh. Ekspresi keagamaan yang garang yang akan lebih mengemuka, dan bukannya keberagamaan yang sejuk dan mencerahkan untuk bersama-sama memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia. []

KOMPAS, 19 Juni 2017
Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Nuzulul Quran

Oleh: Komaruddin Hidayat

SETIAP bulan Ramadan kita menyaksikan dan mungkin juga mengikuti acara peringatan Nuzulul Quran, yakni berkaitan awal mula diturunkannya Alquran yang selanjutnya diwahyukan secara berangsur kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun. Ada beberapa pendekatan terhadap peringatan Nuzulul Quran.

Pertama, peringatan peristiwa sejarah awal mula diturunkan wahyu Alquran pada bulan Ramadhan. Tentu saja waktu itu belum ada komunitas muslim yang ramai-ramai berpuasa Ramadan. Perintah puasa dan salat pun belum turun.

Kedua, dan ini lebih penting dampaknya, yaitu doa dan harapan agar Alquran itu juga turun (nuzul) pada setiap muslim-mukmin, bukan hanya kepada diri Rasulullah. Dengan berpuasa dan menjalankan ritual secara sungguh-sungguh, semoga hati dan pikiran menjadi suci. Sehingga ayat-ayat suci yang berisi petunjuk kehidupan turun dan masuk pada bumi orang mukmin, yaitu hati dan pikirannya. Muaranya hidupnya selalu dijiwai dan dibimbing Alquran.

Suatu hari seorang sahabat bertanya pada Aisyah, istri Rasulullah: Bisakah aku diberi penjelasan singkat yang bisa aku jadikan pedoman hidup, apakah akhlak Rasulullah yang demikian agung dan mulia perilakunya? Jawab Aisyah: Akhlaquhul-quran. Akhlaknya adalah Alquran. Demikianlah, Alquran telah nuzul dan mempribadi pada diri Rasulullah.

Alquran telah jadi spirit dan pedoman hidupnya. Tentu saja banyak tema pokok Alquran yang bisa dibahas panjang lebar. Di antaranya disebutkan dalam Surat Alqalam ayat 4: Hai Muhammad, sungguh engkau memiliki akhlak yang mulia.

Tema paling pokok dalam Alquran adalah keimanan pada Allah dari hari kebangkitan. Aspek ini berakar pada keyakinan. Kita tidak bisa mengukur keyakinan seseorang. Namun aspek fundamental lain ajaran Alquran antara dua keimanan itu adalah beramal saleh dan berakhlak mulia, di mana aspek ini bisa diamati, diukur dan dirasakan oang-orang di sekitarnya.

Jadi, jika Alquran telah nuzul pada seseorang, salah satu buah dan indikasinya adalah berakhlak mulia. Akhlak mulia selalu menebarkan sifat ilahi, terutama selalu mengajak kebenaran dan kebaikan dengan penuh kasih sayang, sehingga Allah pun mengajarkan agar setiap memulai pekerjaan mesti dimulai dengan: Bismillahirahmanirrahim. Semoga semua aktivitas kita senantiasa mengambil bagian bagi penebaran kasih dan rahmat bagi sesama.

Ketika selesai melakukan pekerjaan, kita tutup dengan Alhamdulillah. Bahwa segala pujian itu hanya milik Allah. Artinya, kita jangan membanggakan diri dan jangan minta dipuji setelah menyelesaikan sebuah tugas. Ketika memulai memohon bimbingan dan rahmat dari Allah, setelah selesai bersyukur pada Allah.

Istilah Alquran turun ke bumi, bukan bumi yang kita injak karena bumi pasti tidak akan mampu dan tidak memahami Alquran. Tetapi bumi manusia, yaitu hati dan pikiran yang mengarahkan perilaku manusia.

Inilah yang terlihat dalam sejarah, masyarakat Arab pra-Islam yang dikenal jahiliyah setelah mengenal Alquran berubah sangat drastis. Yang tadinya selalu membanggakan sukunya dan gemar berperang antarsuku, lalu berubah menjadi masyarakat yang senang bersujud pada Allah. Mereka berlomba beramal kebajikan. Tak ada yang pantas dikejar-kejar kecuali menjaga iman dan memperbanyak amal saleh.

Dengan kehadiran Alquran dan kepemimpinan Muhammad Rasulullah, padang pasir Arab yang tandus berubah menjadi pusat ilmu dan peradaban. Inilah salah satu makna dan bukti nuzulul-quran yang telah mengubah sejarah.

Tetapi sangat disayangkan, masyarakat Arab yang menjadi tempat penyemaian Islam dan menjadi sumber peradaban, hari-hari ini dikenal sebagai bangsa dan masyarakat yang penuh dengan konflik dan peperangan, mengingatkan kita pada situasi zaman pra-Islam, sebelum Alquran turun. []

KORAN SINDO, 16 Juni 2017

Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah