Kritik Keberagaman

Agama secara normatif-ideal itu serba bagus dan indah diceritakan. Tetapi, agama sebagai realitas sosial yang ditampilkan oleh pemeluknya tak sepi dari kekurangan dan penyimpangan. Maka, wajar kalau agama yang awalnya sebagai kekuatan kritik sosial dalam perjalanannya sering kali jadi sasaran kritik.

Kritik yang cukup tajam yang dialamatkan pada praktik keberagamaan antara lain datang dari Karl Marx. Dalam pandangannya, banyak orang lari pada kehidupan beragama sebagai pelarian karena kalah bersaing dalam perebutan kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka letih dalam perang ekonomi, lalu mencari ketenangan dalam dunia metafisik.

Dalam ruang agama, seseorang akan memperoleh penawar dan hiburan, tak usah khawatir dan bersedih kehilangan kenikmatan dunia, karena Tuhan akan memberikan ganti kenikmatan akhirat yang jauh lebih indah dan membahagiakan. Kritik serupa juga datang dari Nietzche. Karena kalah dalam persaingan dan perebutan kekuasaan, orang beragama akan lari pada Tuhan yang diyakini maha besar dan kuasa agar membantunya dalam mengalahkan lawan-lawan yang menindasnya.

Jadi, dalam pandangan Marx, Tuhan akan menyediakan surga bagi orang beragama sebagai kompensasi kekalahan di dunia, sedangkan Nietzche, agama akan menghadirkan Tuhan yang mahakuat untuk membebaskan ketertindasannya. Sementara Freud punya kritik senada, menganggap orang beragama itu karena mengalami krisis kasih sayang lalu mengharapkan kehadiran Tuhan yang mahakasih untuk menenteramkan dan menghibur jiwanya yang gundah gulana.

Apakah berarti Marx, Nietzche dan Freud anti-Tuhan dan antiagama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Yang jelas, yang mereka kritik adalah perilaku orang beragama berdasarkan pengamatan dan pergaulan mereka semasa hidupnya di lingkungan sosial yang tengah gandrung terhadap rasionalisme, saintisme, dan modernisme. Kehidupan beragama mereka anggap sebagai pelarian dan hiburan bagi orang yang kalah dalam persaingan hidup dan tidak mau kerja keras. Mereka mengkritik dunia, kecewa terhadap dunia, lalu lari ke alam metafisik. Akibatnya, perkembangan dunia dikuasai dan dikendalikan oleh saintis dengan kecanggihan teknologinya, sementara orang beragama lebih sibuk dan menghibur diri dengan dunia metafisik, menawarkan keselamatan dan kemenangan setelah kematian.

Historisitas agama

Meskipun obyek kajian dan perhatian utama agama adalah alam metafisik, sesungguhnya semua pemikiran dan perilaku keberagamaan berangkat dari dan berakar pada kehidupan nyata yang bersifat historis-sosiologis. Sepanjang yang beragama manusia, maka pemikiran dan perilakunya terbentuk oleh tradisi dan lingkungan sosialnya di mana seseorang lahir dan tumbuh. Keberagamaan adalah bagian dan kebutuhan eksistensial manusia. Meskipun agama tidak selalu ilmiah dan rasional, agama secara fungsional memberikan ketenteraman jiwa dan makna kehidupan.

Secara ontologis agama yang diyakini datang dari Tuhan, ketika dipahami dan dikembangkan oleh pemeluknya dalam pelataran sejarah, maka mesti membaur antara yang diyakini suci dan yang profan. Membaur antara teks kitab suci dan penafsiran serta pemahaman pemeluknya sehingga pemahaman agama yang murni sesuai kehendak Tuhan itu tak pernah ada. Misalnya saja Al Quran, pemahaman masyarakat Arab hari ini dan masyarakat Arab abad keenam sudah pasti berbeda perspektifnya. Lebih berbeda lagi ketika Al Quran dipahami oleh masyarakat Indonesia dengan lingkungan alam serta bahasa yang sangat berbeda. Sementara karakter dan kekayaan khazanah bahasa Indonesia sangat berbeda dan tak sekaya bahasa Arab dalam hal idiom dan kosakatanya.

Makanya, logis jika pendekatan dan terjemahan tekstual terhadap Al Quran mengalami distorsi dan deviasi makna. Meminjam istilah Gadamer, perjumpaan pembaca dan sebuah teks itu akan melahirkan the fusion of horizons. Teks akan memengaruhi pembacanya, dan subyektivitas serta wawasan pembaca juga akan memengaruhi pesan teks yang muncul. Tentu saja umat Islam yakin bahwa Al Quran itu hanya satu dan pasti benar adanya karena merupakan himpunan kalam Tuhan. Namun, nalar manusia yang memahaminya terbatas dan pemikirannya pun merupakan produk sejarah, tak akan bisa terbebas dari kekurangan dan keterbatasan ketika menafsirkan teks Al Quran.

Pengetahuan manusia tetap relatif, tak absolut, meski tak berarti meaningless dan jatuh pada nihilisme. Jadi, kalau hari ini dunia Islam mengenal mazhab Suni, Syiah, dan mazhab lainnya lagi, sudah pasti di masa Rasulullah tak dikenal mazhab-mazhab itu. Semuanya itu produk penafsiran atas teks, baik teks Al Quran maupun teks Hadis dan buku-buku sejarah, yang senantiasa berkembang terus. Pemikiran dan pemahaman atas teks akan melahirkan tindakan yang ketiganya tanpa disadari cerminan dari kondisi sosial dan semangat zamannya. Misalnya, ada masa di mana umat Islam Indonesia sangat peduli dan gigih memperjuangkan kemerdekaan sehingga perbedaan mazhab itu tak mengemuka.

Makanya terdapat sederet pejuang wanita Islam yang tak berjilbab, tetapi tak pernah dipersoalkan. Begitu pula para istri kiai cukup menutup rambut sekadarnya saja. Lalu teman-teman Ahmadiyah dan penganut Syiah hidup tenang-tenang saja, tak pernah merasa terancam. Namun, sekarang topik itu selalu jadi bahan perdebatan. Jadi, pemahaman dan tindakan keberagamaan itu tidak pernah tunggal dan selalu berkembang dinamis, dipengaruhi zamannya.

Dulu kata ”kaum sarungan” itu selalu dikaitkan dengan kaum santri yang taat menjalankan agama. Sekarang muncul fenomena baru, simbol jemaah yang militan dalam beragama itu sering dikaitkan dengan mereka yang ”bergamis” dan mereka yang mengenakan ”celana cingkrang” serta memelihara ”jenggot”. Ini semua merupakan teks sosial, pesan apakah yang hendak disampaikan oleh simbol-simbol itu, adakah simbol-simbol itu mencerminkan realitas yang sejati dan obyektif, kita tidak tahu karena yang kita tangkap sebatas penanda atau teks yang bersifat simbolik.

Mengutip pendapat Jean Baudrillad, di era visual, signifier tidak selalu mencerminkan realitas signified. Antara penanda dan petanda tak selalu berkorelasi positif karena citra lebih diutamakan ketimbang substansi. Makanya bermunculan sampah visual yang menipu yang selalu menyergap kita. Ekspresi keberagamaan umat Islam di Barat dan di Timur Tengah, misalnya, berbeda lagi. Di kawasan Arab, sekalipun mereka tinggal di daratan yang sama, agama, dan bahasa juga sama, umat Islam tersebar di 20 negara yang sampai hari ini bertengkar terus.

Lebih dari itu, identitas keislaman telah direduksi menjadi penganut Suni dan Siah. Ditelusuri lagi terbagi antara teman dekat Saudi dan Iran. Kondisi dan semangat zaman Timur Tengah hari ini sangat berbeda dari Indonesia sekalipun pengaruh dan imbasnya sampai ke sini. Negara-negara Arab yang menganut sistem demokrasi tengah mengalami krisis dan gejolak, sementara yang berada di bawah kesultanan rakyatnya lebih tenang dan terkendali. Ada lagi varian yang ingin memperjuangkan sistem khalifah. Dari semuanya itu, mana yang lebih Islami? Masing-masing punya logika dan kondisi sosial yang berbeda. Yang bisa kita lakukan adalah memahami lebih dahulu sesungguhnya apa yang terjadi, bukannya langsung menghakimi.

Kekuatan peradaban

Jika dirunut ke sejarah awal mula agama muncul, setiap agama selalu memiliki agenda membangun peradaban. Ingin membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan, serta menawarkan kedamaian. Semangat ini sangat sejalan dengan cita-cita dan agenda kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karenanya, umat Islam Indonesia merasa terpanggil, bersama kekuatan sosial lain, untuk memperjuangkan kemerdekaan agar warga Nusantara yang tersebar di ribuan pulau ini memiliki rumah bangsa dan negara yang berdaulat agar rakyatnya cerdas dan sejahtera. Sadar akan kebinekaan etnis, bahasa, agama, dan kondisi geografis yang merupakan negara kepulauan, sejak awal para pendiri bangsa secara genius dan visioner mewariskan moto: Bhinneka Tunggal Ika.

Kebinekaan ini merupakan kenyataan dan modal sosial. Bukan lagi Indonesia kalau keragaman ini hilang sehingga kita semua mesti merawatnya. Nilai luhur yang jadi landasan dan juga tujuan bernegara itu dirumuskan dalam Pancasila. Seiring berjalannya waktu, hubungan agama dan negara secara politis kadang memunculkan masalah serius. Definisi negara dan agama berkembang mengingat agama sebagai realitas sosial juga telah berbaur dengan tafsiran dan kepentingan pemeluknya. Begitu pun negara yang dibayangkan oleh generasi pejuang kemerdekaan dan politisi hari ini terdapat perbedaan persepsi dan perspektif.

Konsep kedaulatan dan kemandirian yang dibayangkan pendiri bangsa tak lagi populer di era globalisasi ini, diganti dengan konsep kemitraan dan kontrak kerja sama meskipun dalam praktiknya terselubung penguasaan dan kolonialisasi oleh negara yang lebih kuat sebagaimana masa pra-kemerdekaan. Artikulasi dan partisipasi sosial umat Islam tidak lagi solid dan fokus seperti masa pra-kemerdekaan, kecuali Muhammadiyah yang konsisten mengurus pendidikan dan rumah sakit serta jajaran kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang istiqomah mengurus pesantren dan masyarakat. Umat Islam memiliki tradisi dan andil membangun demokrasi karena dari dulu sudah terbiasa berserikat di luar wilayah negara.

Namun, ketika kultur dan mekanisme demokrasi telah menjadi bagian dari gerakan global yang dimotori oleh negara, umat Islam terlambat memahami dan mengantisipasi sehingga mereka tidak mampu mengapitalisasi mayoritas suaranya sebagai pilar utama memajukan Indonesia. Umat Islam merasa memiliki modal suara, tetapi terpecah-pecah ke dalam parpol tanpa kepemimpinan politik yang solid, mumpuni, dan visioner yang diterima semua pihak. Anggapan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dipertanyakan oleh kelompok radikal yang kadang mengafirkan sesama umat Islam. Jangan-jangan di mata mereka, jumlah umat Islam tak sampai 25 persen penduduk. Jika ditanyakan pada politisi, jangan-jangan porsi politik umat Islam minoritas. Belum lagi jika dilihat dari aspek ekonomi.

Semua jawaban yang muncul bersifat subyektif karena perspektif dan penafsiran atas negara dan agama juga subyektif, dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing. Secara administratif-demografis, pemerintahan sekarang ini mayoritas adalah Muslim. Tetapi, oleh sebagian kelompok dianggap thaghut atau berhala kafir. Padahal, keislaman orang Indonesia dalam hal menjalankan ritualnya jauh lebih baik dibandingkan umat Islam di negara lain. Demokrasi saat ini lebih dimaknai sebagai perebutan kekuasaan dengan mengandalkan mayoritas suara.

Dalam konteks ini, sentimen dan simbol keislaman menjadi instrumen politik yang efektif untuk membangun solidaritas emosional guna memenangkan sebuah pertarungan demokrasi. Namun, jika mayoritas itu hanya sekadar kerumunan yang bermental crowd mentality, pasti akan kalah dalam persaingan politik dan ekonomi karena miskin kompetensi teknokratik dan jaringan ekonomi global sekalipun mereka memiliki jatah dalam lembaga legislatif. Artinya, keunggulan jumlah angka tidak menjamin umat Islam jadi pilar dan penggerak peradaban. []

KOMPAS, 12 Oktober 2017

Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Tinggalkan komentar